Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mulai dari Centong Nasi hingga Lalap Tauge plus Terasi untuk Urusan Anak

26 Juli 2019   11:11 Diperbarui: 26 Juli 2019   11:29 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang teman diminta untuk mencuri centong nasi dari keluarga yang memiliki anak laki-laki. Centong nasi dari kayu itu syarat untuk mendapatkan anak laki-laki. Teman saya itu sudah memiliki dua anak perempuan dan ingin anak laki-laki. Benar atau tidak itu sudah dilakukan oleh teman saya. Mencuri, ia mencuri. Mengambil barang milik orang lain tanpa izin.

Mau anak laki-laki, datangilah istri dari sisi kanan dan miring ke kanan saat berhubungan intim. Mau anak perempuan, datangilah istri dari sisi kiri dan miring ke kiri saat berhubungan intim. Benar atau tidaknya, tetapi itu sering di sampaikan oleh kaum lelaki atau perempuan ketika ngobrolin jenis kelamin anak di warung kopi.

Semua itu sudah tertanam dalam benak orang. Hal itu bisa terlontar begitu saja ketika ngobrol dengan teman. Artinya hal itu sudah menjadi kepercayaan dari masyarakat. Suka atau tidak suka. Mencuri centong yang sudah pasti dilarang oleh hukum dan juga dilarang oleh agama. Apa nggak keblinger.

Mendatangi istri okehlah. Persolannya kalau ternyata kamarnya sempit dan tempat tidurnya mepet ke dinding kamar. Haruskah menggeser tempat tidur dulu sebelum berhubungan intim agar sesuai dengan jadwal kedatangan?

Bukan hanya persoalan pemilihan jenis kelamin tetapi untuk mendapatkan seorang anak bagi keluarga tertentu butuh perjuangan. Perempuan atau istri terkadang menjadi korban terlebih dulu untuk melakukan hal-hal yang bikin geleng kepala.

Seorang yang baru kerja dan sudah lebih 3 tahun menikah, harus meminum obat, suplemen dari luar negeri seharga dua juta rupiah untuk 30 hari dan harus diminum selama 4 bulan. Tanggal-tanggal masa subur ditandai dan harus berhubungan intim.

Ada lagi teman perempuan yang mesti minum air rebusan pinang muda. Di masak dengan dua gelas air hingga airnya menjadi satu gelas. Rasanya sungguh menawan. Mabok.

Mau melawan, jangan!  Itu tekanan keluarga besar.

Kenal dengan tauge atau kecambah? Ini pengakuan jujur. Kata temanku dia diminta keluarga termasuk suaminya untuk makan tauge mentah dan sambal terasi. Sang suami nggak makan tauge yang makan tauge hanya sang istri. Bagaimana asikkan?

Begitulah kisah-kisah. Setelahnya, membuat senyum. Mesakke. Sedih.  Bahkan itu terkadang membuat trauma. Jadinya ya gitu. Rasanya rame.

Pertanyaannya adalah kenapa tidak dilakukan terlebih dulu pemeriksaan tingkat kesuburan masing-masing. Pria diperiksa spermanya. Hal yang sama juga mesti dilihat pada perempuan, sel telur dan juga pada sistem reproduksinya. Perempuan itu kompleks. Kalau ternyata pria yang bermasalah maka pria yang mesti berjuang untuk diobati. Kalau ternyata perempuan yang bermasalah maka perempuan yang mesti diobati.

Setelah bertahun-tahun. Iseng si perempuan yang pernah minum rebusan buah pinang muda mencari informasi mengenai kandungan pinang. Hasilnya mengejutkan, ternyata pinang salah satunya mengandung zat aktif arekolin yang bisa berfungsi menggairahkan untuk laki-laki. Coba tekan ini. Ini juga ya.

Temanku yang makan tauge mentah plus sambel trasi juga tercengang. Tauge ternyata untuk meningkatkan kesuburan lelaki bukan untuk meningkatkan kesuburan perempuan. Cek ini dong. Berbulan-bulan lalap tauge mentah dan terasi. Hadewwww. Untung nggak mencret.

Begitulah mitos dan informasi yang tidak benar mengenai kesehatan berkembang di masyarakat. Hoax kalau orang kekinian menyebutnya. Bagi dunia kedokteran mitos-mitos dalam kesehatan dan juga informasi yang tidak benar dalam penanganan penyakit menggunakan tanaman dan tumbuhan lokal masuk di  Antropologi Kesehatan.

Semuanya terkait dengan keyakinan dan kemajuan teknologi. Penelitian menjadi kuncinya. Ada standar dan baku emas untuk mengukurnya.

Semoga sebelum diri melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pengaruh di tubuh sendiri, lebih baik untuk mencari tahu dengan cara yang benar.  Langkah pertama bisa terlebih dulu cari-cari di dunia maya tetapi tindakan yang paling baik adalah berkonsultasilah dengan dokter.

Barangkali mengutip kalimat sebuah iklan, "buat anak kok coba-coba". Terserah bagaimana aku dan pembaca Kompasiana meresapinya karena kalimatnya memiliki sayap yang bisa terbang ke mana saja.

Salam Kompal

Salam dari Puncak Bukit Barisan Sumatra

kompal-5d3a7bf0097f365a3e5b1422.jpg
kompal-5d3a7bf0097f365a3e5b1422.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun