Warung kopi di kawasan Cikini menjadi saksi malam itu. Ternyata lelaki itu sangat supel. Makanan yang dipesan pun Indonesia banget. Makannya mengikuti tata cara makan yang benar berkebalikan dengan diriku.
"Dirimu hebat di dunia maya tetapi kenapa anda tak bisa mewujudkan secara nyata kehebatan anda dalam dunia nyata?," tanyaku sambil menatapnya.
Tersenyum. "Aku hanya ingin hidup di dunia maya. Dunia nyata urusan mereka yang menyewa diriku," katanya.
"Sayang dong. Dirimu bisa menjadi  king maker atau justru menjadi  king  yang sesungguhnya".
"Aku senang kemisteriusan. Biarlah itu urusan mereka. Mereka seharusnya berpikir. Menang di maya belum tentu menang di nyata".
"Kini semuanya sudah berakhir. Kita harus mengikuti tata aturan yang berlaku di dunia nyata. Walau dalam dunia kami sepertinya tidak ada aturan, justru tidak adanya aturan itu aturan. Bisa lebih kejam di dunia kami daripada di dunia nyata," ungkapnya tanpa melanjutkan sambil menyeruput kopi.
"Empat tahun lagi pemilihan. Semestinya mereka berpikir dan mengeksekusi program di dunia nyata untuk menang. Percuma menumbangkan lawan politik di dunia maya. Menumbangkan lawan politik itu di dunia nyata. Bisakah kau membantuku?," kata lelaki pemilik kecerdasan buatan.
Aku terkejut dengan permohonannya. Sebanyak 50 negara bagian harus digarap dalam 4 tahun. Waktunya terlihat lama tetapi untuk urusan politik itu sangat singkat.
"Apakah kau punya pelurunya?," lanjutnya.
"The ballot. Â Kill with the ballot," ujarku.
Kami bersalaman. Dia berjalan kaki mengarah ke Tugu Tani sedangkan aku berjalan kaki mengarah ke Taman Ismail Marzuki. Malam yang semarak. Sesemarak pikiranku yang kacau menerima permintaannya.