Pilu, teriris sembilu hatiku membaca suami yang membacok istrinya sendiri karena menolak diajak untuk berhubungan seksual. Haruskah sampai membacok dan melukai orang yang kita cintai hanya karena tidak diberi jatah, bahasa preman rumah tangganya?  Mabokkah  atau gilakah itu lelaki?
Komunikasi cintanya mana? Apa sudah nggak pernah bilang, Â I love you honey. Â Aku tresno kowe. Â I love U full. Â Abang demen ame eneng. Â Â Aink bogoh ka sia. Â Apa tidak pernah menggoda istri terlebih dulu. Bisa juga sebaliknya.
Duh biyung-biyung. Â Kenapa hubungan yang semestinya penuh cinta kasih dan kasih sayang serta membahagiakan lalu menjadi urusan kriminal.
Otak, mana otak? Apa sudah  dipake  oleh umek dan bik cik untuk buat otak-otak.
Sebagai lelaki (tidak mewakili siapapun) kecewa dengan tindakan membacok istri. Apa yang dilihat pada orang yang dulu diinginkan untuk menjadi pasangan hidup semati seperjuangan dalam susah, senang, sakit. Sebenci-bencinya bila emosi lihatlah dia dengan menurunkan tensi. Bila perlu diri ini yang meminta maaf kalau ditolak.
Apakah kelelakian akan berkurang? Tentu tidak. Kelelakian itu justru ditunjukkan ketika lelaki mampu menahan diri, mempermainkan dirinya sendiri dalam menghadapi emosi ataupun hasratnya.  Itu lelaki  mature.  Tak peduli six pack ataupun one pack.
Lalu, kalau ditolak setiap kali minta jatah preman.  Ya,  ada yang salah dari cara mintanya. Cara minta  ya  tangan harus di bawah. Nggak ada rumusnya kan  kalau minta tangan di atas. Wajar ditolak. Wajar kalau  dikeplak.
Bicarakan dong! Masalahnya apa? Cari solusinya. Jangan cari menang sendiri.
Kamu pikir enak jadi perempuan, tinggal ngangkang saja. Sakit tahu. Itu  vulnus punctum,  kalau kurang gairah atau pemanasannya kurang, sakitnya luar biasa. Kamu  pikir enak jadi lelaki, tinggal dorong-dorong saja. Susah tahu. Kadang nafsu tenaga kurang. Itu kadang bikin emosi. Satu sisi kepengen, sisi lain apa daya.  Eit  yang nulis emosi.  Hik hik hik.
Sebenarnya dalam hubungan seksual layaknya suami istri, hasrat itu bisa terjadi pada istri ataupun suami. Manusiawi. Istri kadang ingin, suami lagi lelah. Suami kadang ingin, istri lelah. Keinginan itu wajar.  Lah  itu salah satu kenikmatan dunia. Paling enak kalau istri dan suami bisa menjaga hasrat untuk sama-sama berhasrat.
Main paksa apalagi sampai rudapaksa dalam hubungan suami istri itu tak elok. Akan ada rasa sakit baik lahir maupun batin. Pasti akan jadi ingatan dan pasti setiap kali hubungan rasa trauma itu akan muncul.
Jangan dipikir, main paksa ataupun rudakpaksa itu hanya bisa dilakukan oleh lelaki. Tidak-tidak. Rudapaksa bisa juga dilakukan oleh perempuan. Boleh tersenyum sinis tapi itu memang terjadi.  Monggo dicari dengan mbah google.
Hasrat seksual, berhubungan dengan istri sendiri, suami sendiri itu hal yang wajar. Jangan disalahkan hasratnya. Jangan pula menyalahkan istri atau suami, salahkan diri sendiri kenapa tidak melayani.
Melayani itu bukan dalam artian yang sempit, artinya sangat luas. Bisa membuatkan teh atau kopi untuk pasangan kita yang baru pulang kerja. Bisa juga membuat memasakkan air panas untuk mandi kalau sang suami pulang malam.
Suami kalau di rumah bisa membantu pekerjaan rumah, memasak, cuci sepatu anak. Membenahi halaman.  Eh, kalau lihat istri capek boleh juga  tuh masak air dan merendamkan kakinya dengan air garam. Boleh juga  tuh  mijitin  kakinya, punggungnya.
Setelah itu  ya  nggak usah diajarin  lah  wong  sudah  pinter  semua. Kalau sudah begitukan semua jadi enak. Semua suka sama suka. Ingat waktu dulu pacaran. Indah.
Jangan main bacok-bacokan. Jangan main potong burung pula. Mau main  ena ena kok main kekerasan. Emangnya mau buat film Fifty Shade
Jadi jangan salahkan hasrat. Hasrat nggak salah yang salah adalah pemilik hasrat yang tidak bisa mengendalikan hasrat.
Salam Kompal
Salam dari Puncak Bukit Barisan Sumatra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H