Ada kalanya perbuatan lebih baik dari kata-kata. Terkadang kata-kata sulit untuk diungkapkan. Perbuatan justru bisa menggantikan kata-kata yang tak terungkapkan.
Perempuan renta itu selalu bergerak. Selalu berkunjung ke teman-temannya. Entah bagaimana perempuan itu bisa mengatur jadwal sehingga teman-temannya itu hampir selalu ada setiap berkunjung. Hampir tak pernah meleset. Perempuan itu tak pernah bawa smartphone.
Orang tua perempuan renta itu, dulu sekali ketika kereta api masih menggunakan batubara, setiap satu bulan sekali selalu mengunjungi cucunya di Palembang. Naik kereta api dari Stasiun Lubuklinggau ke Stasiun Kertapati. Barang bawaannya yang banyak mulai dari kelapa muda, kacang tanah, bumbu pecel, rengginang, kerupuk merah dan rempeyek merupakan bawaan wajibnya.
Aneh bin ajaib, seluruh barang bawaannya itu selalu dibawakan oleh porter dan tidak ada satupun barang yang tercecer. Sungguh sampai saat ini, hal itu masih menjadi misteri.
Sang cucu senang bukan kepalang. Bukan hanya makanan kesukaannya melimpah tetapi keinginan sang cucu, mau apapun akan terpenuhi. Padahal sang cucu tidak mengutarakannya.
Orang tua perempuan renta itu dulu hidup dari bertani, berdagang dan sedikit pensiunan veteran. Dulu sekali pensiunan itu pernah macet dan kemudian diurus kembali ke Bandung. Hanya orang tua perempuan renta itu dan cucunya yang berangkat ke Bandung naik bus.
Kini hal yang sama juga dialami oleh perempuan renta, yang hidup dari pensiunan suaminya dan juga kiriman kebun karet yang dikelola oleh ponakan dan cucu-cucunya. Walaupun hidupnya pas-pasan. Perempuan renta itu selalu berbagi. Sama halnya dengan orang tua perempuan renta.
Satu perkataan yang hampir sama antara orangtua perempuan renta dan perempuan renta itu adalah semua ini hanya titipan. Harta, anak, cucu adalah titipan. Semua bisa diambil kapan saja dengan cara apa saja.
Berbagi adalah cara agar semua bisa bertahan hidup. Semua bisa hidup menghidupi dan berguna bagi sesama.
Perempuan renta itu paling suka gado-gado, rendang Pagi Sore dan ayam panggang. Dan sang anak sudah menyiapkan rendang Pagi Sore dan ayam panggang. Kedua makanan itu sudah dibeli oleh sang anak menjelang restoran padang itu tutup.
Perempuan renta itu tidak pernah mengutarakan keinginannya. Itu hanya inisiatif dari anaknya saja yang sudah kangen dengan perempuan renta itu.
Sang anak menyiapkannya bersama dengan kemplang mangkok. Kemplang mangkok itu titipan dari perempuan yang sangat mencintainya berpisah jarak dan waktu.
Usai ziarah kubur di hari pertama lebaran, sang anak memanaskan rendang dan ayam. Menyiapkan nasi dan kerupuk mangkok serta rendang dan ayam panggang. Empat beranak lalu makan tanpa ada basa-basi.
Perempuan renta itu bisa melihat gelagat dan juga pandai membaca situasi serta pikiran orang. Sepedih apapun penderitaannya tak pernah diungkapkannya. Perempuan renta itu berbisik padaku, "terima kasih. Semoga lidahku tidak rusak dengan kerupuk mangkok ini".
Akupun tertawa. Adik-adikku tersenyum. Perempuan renta itu tertawa dan tersenyum. Sebuah tawa dan senyum yang sudah lama sekali tak kulihat.
Aku terenyuh pada tangannya. Keriput jelas terlihat di punggung telapak tangannya.
Walau waktu mungkin tak lama lagi. Semangat juangnya untuk berbuat baik pada sesama dan harapannya untuk sang penerus tak pernah pudar. Rapalan doa dan rasa syukur tak terukur terus disenandungkan pada waktu-waktu tertentu.
Hari itu dia mengucapkan terimakasih untuk rendang dan ayam panggang dan kerupuk kancing. Perempuan tua renta itupun sudah dijemput oleh mobil travel untuk pulang ke kebun. Tempatnya dibesarkan dan juga tempatnya menabur kebaikan.
"Jaga cucuku dengan jiwa dan ragamu," katanya setengah berbisik dan kusesakkan sebungkus kerupuk kancing di belakang bagasi.
Sang waktu. Kuharap masih ada waktu lagi untuk membuatnya tersenyum kembali.
Salam dari Punggung Bukit Barisan Sumatra
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H