Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mundurkan Waktu Kita Melihat Istri

6 Januari 2019   14:38 Diperbarui: 7 Januari 2019   23:20 1157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika aku duduk di teras sambil membaca koran dan menikmati sinar mentari plus teh poci, ketika aku mundur beberapa menit, hadewww. Aku ternyata sama saja dengan tiga mata yang menuliskan pesanan bekal sekolah di white board ataupun kertas yang ditempelkan di pintu kulkas. Ada pisang goreng ataupun pisang rebus plus kue kering ataupun minta digorengkan pempek, pempek kapal selam, atau minta dipanaskan tekwan, model kalau lagi beruntung mendapat kiriman dari Palembang.

Akupun mundur belasan tahun lagi. Sungguh suatu momen yang bikin Baper. Seorang perempuan yang cantik dan tinggi belum bertato kupu-kupu di kaki kanannya mengambilkan nasi dan meletakkannya di piringku.

Tidak hanya sekali. Dalam banyak momen tanpa sungkan aku dilayani di ruang publik. Padahal sudah kusampaikan untuk tak perlu begitu karena aku tak mau dia malu dengan pendidikan dan kedudukannya di sebuah lembaga.

"Perempuan itu swargo nunut neroko katut," katanya suatu waktu berbisik di telingaku di tengah gemuruhnya mesin 200 PK di perairan Sungai Musi.

Teh hangat, pempek dan tekwan I Foto: OtnasusidE
Teh hangat, pempek dan tekwan I Foto: OtnasusidE
Begitulah perempuan extra ordinary itu mengguncang diriku mengenai feminisme dan juga mengenai misogini. Dialog dan juga perdebatan kami sangat panas mengenai isu-isu tersebut termasuk pembagian kerja di rumah dan di luar, kepala rumah tangga dan kepala keluarga. Demikian pula dengan pendidikan. Padahal kami beda jurusan pendidikan.

Satu waktu perempuan itu bahkan melakukan apa saja untuk mendapatkan buah hatinya. Dan jujur itu pengorbanannya yang sangat besar. Aku tahu itu. Demikian pula ketika dia harus menyuntikkan sesuatu yang sangat menyakitkan ke tubuhnya.

Sebelum itu disuntikkan. Aku justru diminta untuk membaca side effect di kemasannya. Tubuhku bergetar. Air mata ini mengalir deras. Tetapi sungguh perempuan itu sangat tegar.

Setelah mengalami perjuangan yang sangat panjang. Perjuangan dan juga jatuh bangun hingga ke paling dasar kesadaran. Tiga mata keluar dari rahimnya dan dia tetap perempuan sederhana plus tradisional.

Pagi ini aku menyeruput teh poci dan bersyukur karena tafakurku bisa melihat perempuan bertato kupu-kupu di kaki kanan dari sudut yang berbeda. Satu kecupan di keningnya pagi ini kudaratkan dan kuucapkan terima kasih karena sudah menjadi perempuan untukku dan untuk anak-anakku. Perempuan yang sudah selesai dengan dirinya.

Bagaimana dengan Kompasianer? Lihatlah pasangan kita, suami, istri, pacar kita. Lihatlah dan mundurlah! Ada waktu, momen terindah dan momen terburuk. Nikmatilah.

Salam Kompal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun