Salah satu ciri aku ada di sebuah kota di Bukit Barisan Sumatra adalah kamar di ujung mes kalau malam terang. Kalau tak ada  ya  gelap. Sesederhana itu.
Pagi-pagi temanku menggedor pintu kamar mes untuk mengajak sarapan. Sang teman ini biasa mampir pagi setelah mengantar anaknya ke sekolah. Lokasi sarapan tinggal dipilih, Â sarapan Mie Ayam Lukli, martabak telur di pasar atau makan mie goreng Mbah Jarwo atau sarapan di rumahnya.Â
Si teman ini sedang jomblo berbatas waktu. Maklum istrinya sedang kuliah lagi di universitas ternama di Indonesia sedangkan dirinya sendiri sedang memompa semangat untuk menulis thesis.
Akhirnya dipilih sarapan di mie goreng Mbah Jarwo. Dekat, cepat dan ringkas serta tidak pakai lama.
Si teman mengkritik tulisanku mengenai A Man Called Ahok dan Hanum & Rangga. Menurutnya tulisanku dangkal tidak memberikan gambaran utuh mengenai perseteruan sosial politik serta psikologi yang melingkupi kedua film yang berimbas pada jumlah penonton. Perseteruan itu terjadi di Media Sosial dan juga terekam jelas di media mainstream.
Aku  sih kalem saja. Lah,  untuk menulis biasanya seorang penulis berusaha untuk membatasi topiknya agar tidak melenceng ke mana-mana. Seorang penulis jelas memiliki misi tersendiri yang bisa diungkapkan ataupun tak diungkapkan dalam tulisannya. Semua diserahkan pada pembaca untuk melihat misi dari tulisan yang ingin disampaikan. Titik.
Film  ya film. Film  pasti membawa misi. Misinya tergantung dari film itu sendiri. Cara menyampaikannya ada begitu banyak cara. Semuanya tergantung pada sang sutradara.
Walau demikian jangan pernah mengadu crew film. Crew film itu bertindak secara profesional. Kalau mereka tidak profesional maka mereka akan habis digilas oleh sistem film itu sendiri. Film itu mau untung. Titik.
Mengenai Hanum, Hanum sendiri bukan orang baru di film. Setidaknya sebelum film Hanum & Rangga (2018) ada film 99 Cahaya di Langit Eropa (2013), 99 Cahaya di Langit Eropa Part 2 (2014), Bulan Terbelah di Langit Amerika (2015), Bulan Terbelah di Langit Amerika 2 (2016).
Berdasarkan data dari filmindonesia.or.id film Hanum, 99 Cahaya di Langit Eropa berhasil menembus 1.189.709 penonton, sekuelnya 587.042. Film Bulan Terbelah di Langit Amerika ditonton oleh 917.865 orang, sekuelnya hanya ditonton oleh 582.487 orang.
Sebenarnya film Hanum bagus dengan menembus sejuta penonton kemudian jatuh di sekuelnya. Film Hanum kebanyakan lokasi syutingnya di luar, Eropa dan Amerika.
Agak membingungkan juga dengan pandangan politiknya. Di satu sisi, pandangan politik kelompoknya cenderung untuk anti asing tetapi justru di film-filmnya mengambil syuting di Eropa dan Amerika. Ketidakkonsistenan ini dibaca oleh masyarakat yang pada akhirnya juga mempengaruhi efek psikologi ketika masyarakat untuk menjatuhkan pilihan menonton atau tidak menonton film Hanum. Â
Film Hanum & Rangga secara sosial politik dan psikologis memang sangat dipengaruhi oleh Hanum Salsabiela Rais itu sendiri bukan karena menyandang nama Rais. Â Pandangan politik Hanum yang menjatuhkannya adalah ketika Hanum pada 2 Oktober 2018, mencuit@hanumrais "Sy juga dokter. Sy melihat meraba dan memeriksa luka Bu Ratna kemarin. Sy bisa membedakan mana gurat pasca operasi&pasca dihujani tendangan, pukulan. Hinalah mereka yang mengangga sbg berita bohong. Krn mereka takut, kebohongan yang mereka harapkan, sirna oleh kebenaran."
Mengenai video bagaimana Hanum dan Ratna Sarumpaet silahkan ditelusuri saja. Begitupun komentar-komentar Hanum lainnya mengenai Ratna, jejak digitalnya masih ada.
Lalu ketika ternyata Ratna bukan dipukuli dan dihujani tendangan seperti dikatakan Hanum tetapi malah operasi plastik apa nggak bikin geger. Klaim kompetensi Hanum sebagai dokter pun dipertanyakan? Hanum ternyata dokter gigi. Langit kelap kelip. Bumi gonjang ganjing.
Apalagi ketika film Hanum & Rangga head to head dengan A Man Called Ahok tanggal 8 November lalu dan seperti telah diduga, dunia Medsos pun ramai. Media berita online mainstream pun ramai.
Jagat maya itu kejam. Jagat maya itu mencatat jelas kamu ngapain dan lagi apa, kata sebuah potongan lagu. Sekejam, seseram I Know What You Did Last Summer, itu judul sebuah film slasher tahun 1997.
Jadi A Man Called Ahok yang dibuat di Indonesia, di Pulau Belitung yang indah, sungguh menjadi sebuah oase  tombo kangen,  cerita yang membumi. Cerita sehari-hari rakyat Indonesia. Juga mungkin cerita 99 persen rakyat Indonesia.
Jadi Hanum & Rangga yang dibuat di New York, sebuah kota besar dengan julukan Big Apple di Amerika Serikat. Sebuah kota yang terkenal dengan Fifth Avenue, sebuah jalan dengan lokasi pertokoan premium yang harga sewanya selangit. Untuk ke sana saja bagi aku mimpi. Apalagi untuk tinggal dan juga untuk sekolah, apalagi untuk belanja sepatu.
Jagat dunia kejamkah?
Suka dengan Putrama Tuta, sutradara A Man Called Ahok yang menonton film Hanum & Rangga dan mencuit "mari nonton film Indonesia dengan datang langsung ke bioskop! Â #DukungKaryaAnakBangsa".
Daniel Mananta sang pemeran Ahok pun menjawab untuk saling mendukung. Begitulah kehidupan profesional. Daniel melalui akun Instagram mengunggah foto bersama Arifin Putra yang dalam film Hanum & Rangga berperan sebagai Andy Cooper seorang jurnalis. Daniel menonton Hanum & Rangga sedangkan Arifin menonton A Man Called Ahok.
Perutku pun kenyang setelah sarapan. Temanku pun manggut-manggut.
"Selesaikanlah thesismu. Jangan sampai membayar SPP lagi. Nggak usah pusing ngurusi jagat maya. Kamu nggak kuat. Cepat selesai, wisuda dan kembali mengabdi pada negara. Â Fokus layani masyarakat sesuai dengan tugasmu," kataku sambil menyeruput kopi hitam.
Temanku diam. Membayar mie goreng dan kopi serta gorengan. Lalu ngengkol motor. Meninggalkanku.
Apakah masyarakat akan sama kejamnya dengan film Hanum di Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden? Aku nggak bisa jawab. Atau malah, I Still Know What You Did Last Summer sekuel  I Know What You Did Last Summer.
Salaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H