Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tempat Surga yang Rusak

17 November 2018   13:28 Diperbarui: 17 November 2018   13:52 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lelaki tanggung itu memaksa sang ayahnya untuk pergi keluar kota. Lelaki tanggung itu ingin berbicara sebagai seorang lelaki kepada ayahnya yang lelaki yang menjadi panutannya.

Sang ayah yang menjemputnya sepulang sekolah sangat terkejut. Apalagi di kantong hanya tinggal sedikit uang untuk makan hari ini dan esok serta sekitar dua ratus ribu untuk pergi ke luar kota tempat sang ayah berjibaku membuka jalan hidup ekonomi baru.

Mata lelaki tanggung itu nanar. Berkaca-kaca. Di depan sekolah itu drama itu dimulai.

Lelaki itu pun akhirnya memenuhi permintaan lelaki tanggung itu. Ada semacam gejolak dalam diri sang ayah.

Setelah penuh mengisi bensin pada motor buntutnya, sang lelaki itu lalu memacu motornya ke luar kota. Dekapan lelaki tanggung pada punggungnya membuat sang ayah semakin galau. Dekapan itu sangat erat seakan-akan si lelaki tanggung takut kehilangan sang ayah.

Sang ayah yang memacu motornya akhirnya tersadar kalau lelaki tanggung yang memeluknya itu belum makan. Sang lelaki lalu memberhentik motornya di sebuah warung makan. Dibelilah satu bungkus nasi dengan lauk satu rendang.

Pada satu titik di perkebunan PTPN VII di kawasan Musi Landas, sang ayah memberhentikan motornya. Mengajak si lelaki tanggung itu berhenti dan duduk di bawah pohon di depan hamparan lapangan bola.

Satu nasi bungkus dengan lauk rendang itupun dibuka dan disodorkan ke lelaki tanggung. Tangan si ayah bergetar memandang titik air mata mengalir dari pipi anak lelakinya.

"Maafkan aku ayah. Aku tak bisa menjaga ibu. Ibu sudah bercerita ke seantero jagat kalau ayah adalah lelaki yang tak bertanggung jawab. Lelaki yang tak bisa diandalkan mulai dari kami lahir hingga kami sekolah. Ayah adalah lelaki yang tak bisa menjadi imam keluarga. Semua keburukan ayah sudah dilontarkan di jagat," kata lelaki tanggung itu sesunggukan.

Sang ayah pun memegang titik air mata lelaki tanggung yang jatuh dengan jemarinya.

"Ibu curhat dengan seluruh teman SD, SMP, SMA dan teman kuliahnya. Bahkan setiap hari ibu curhat dengan seseorang. Mulai dari pagi, siang sore dan malam hari kalau si lelaki itu keluar kota. Ibu juga bertukar foto dan bervideo call dengan orang tersebut," kata si lelaki tanggung.

Sang ayah tetap tenang. Apa yang disampaikan lelaki tanggung bukannya tak diketahui sang ayah. Sang ayah hanya membutuhkan waktu dan tak mau sembarangan menuduh yang bisa menimbulkan fitnah yang lebih besar. Tidak hanya memfitnah pada ibu si lelaki tanggung tetapi juga pada orang yang dituduhkan kalau ternyata informasi yang didapat tidak benar.

"Apakah ibu sudah memakan daging busuk? Apakah ibu sudah memfitnah ayah dengan pernyataan tidak mengurusi kami dari lahir hingga kami sekolah? Apakah ibu sudah memfitnah kalau semua isi rumah tidak ada satupun pembelian ayah? Ayah tidak sepeserpun berkontribusi pada keluarga?".

Sebelum lelaki tanggung menumpah seluruh isi hatinya. Sang ayah memegang tangan anaknya. Mengusap air mata yang deras mengalir dan mendekap kepala anaknya ke dadanya.

Lalu terbayang ketika kulkas, radio compo, kompor gas, televisi yang dulu dibelinya dengan cara dicicil dari temannya yang punya toko di Beringit Janggut. Pemilik toko ketika mendengar si lelaki yang kini dipanggil ayah itu, sebenarnya ingin memberi semuanya tetapi ditolak oleh si lelaki dan akhirnya disepakati untuk dicicil.

Sang ayah lalu terbayang pada anak perempuannya yang diare dan harus masuk rumah sakit. Sang ayah ketakutan karena tak ada uang sepeser pun untuk membawa sang anak. Untung ada temannya yang dokter yang membawa si anak ke rumah sakit.

Sang ibu sedang dinas luar negeri. Dulu dia bukan siapa-siapa? Kini dia siapa-siapa. Orang yang di FB dipanggil Bunda dan sangat baik gambarannya.

Sang ayah pun lalu terbayang dengan anaknya yang lain yang tak mau tidur dan pundak lelahnya yang baru pulang dari kerja setiap malam menjadi sandaran anaknya agar bisa tidur. Sang ayah walau lelah tetap menegakkan kaki lelahnya untuk menjadi penopang anaknya.

Belum lagi ketika sang ayah harus mendorong motor vespa buntutnya yang mogok ketika mengantarkan anak-anaknya itu masuk taman kanak-kanak. Keringat bercucuran.

Bayangan itu berkelebat. Bayangan itu tetiba sirna.

"Terima kasih anakku. Kau adalah anak lelaki. Maafkanlah ayah tak bisa menjaga dan mengurusimu".

"Ayah adalah lelaki jahanam yang telah membunuh orang untuk bisa bertahan hidup. Berebut tempat jaga. Ayah hanya mempertahankan apa yang menjadi hak ayah sebagai penjaga".

"Maafkanlah aku juga. Aku ingin masuk neraka bersama ayah. Aku tak mau masuk surga. Bagaimana mau masuk surga kalau tempat surga itu sudah rusak," kata si lelaki tanggung dengan suara tegas.

Ayah dan anak itu lalu memacu motornya dengan kecepatan tinggi meninggalkan kota kenangannya. Mereka lalu berjalan di atas rel, meninggalkan seribu jejak luka. 

Nasi rendang yang tak tersentuh itu pun menjadi makanan anjing liar. Sisanya menjadi makanan kucing. Sisanya lagi menjadi makanan ayam hingga hilang tak bersisa.

Salam Kompal

logo-terbaru-kompal-2018-5befb4d2677ffb0a0e5eb1c7.jpg
logo-terbaru-kompal-2018-5befb4d2677ffb0a0e5eb1c7.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun