Belasan tahun lalu. Kenangan itu membuncah. Menerjang batin ketenangan si lelaki penunggu pondok.
Siapa yang tak mengenal subjek pembicaraan. Seorang perempuan mandiri. Seorang perempuan yang menduduki area kekuasaan. Bertubuh tinggi semampai. Cantik. Apa yang tidak ada padanya.
Siapa sangka pada satu acara si perempuan berkata, "I am lonely in the crowd".
Sebuah pernyataan yang sangat membingungkan. Si perempuan adalah perempuan sempurna. Memiliki kekuasaan dan jabatan tinggi meninggalkan teman-teman seangkatannya. Memiliki tiga anak ganteng. Memiliki suami ganteng dan berjabatan.
Di meja makan si perempuan melayani si lelaki. Makanan pembuka diambilkan. Makanan utama pun diambilkan. Demikian pula dengan minuman dan makanan penutup.
Aksi perempuan ini sungguh menjadi tatapan belasan lelaki yang dulu pernah menggodanya sejak mulai kuliah hingga ketika si perempuan duduk dalam jabatan kekuasaan tertinggi. Godaan itu diketahui oleh si lelaki karena setiap sore menjelang pulang si perempuan walau hanya sekitar 15 menit selalu berkeluh kesah mengenai godaan-godaan tersebut.
Si lelaki cuma mendengarkan tanpa pernah memberikan nasehat ataupun memberikan saran. Biasanya juga si lelaki cuma tertawa ngakak dan meminta si perempuan untuk pulang ke rumah mengurusi anak-anaknya.
Terpaan gosip menghujam si perempuan. Terpaan itu datang dari lelaki penggoda yang bertepuk sebelah tangan.
Bisa jadi terpaan itu membuat suami si perempuan emosi. Bila emosi sudah muncul maka kehancuran siap menerkam.
Emosi cemburu membuta itu menutup logika. Walau begitu nasehat hakiki paling mendasar adalah kenapa dulu menjadi petarung memburu sang perempuan cantik. Sudah tahu resiko kecantikan dipastikan akan tetap diburu oleh lelaki nyalang yang memang lapar bak serigala.
Si lelaki yang dicurhati pun melarikan diri. Tak kuasa beban. Tak kuasa melihat kehancuran.