Keluarga ini pun pamit. Sesampai di depan Puskesmas, bapak Asr menggoda dokter.
"Loh dokter kapan menikah? Di sini kan banyak insinyur dari Unsri, IPB dan UGM di perkebunan. Kalo nikah aku diundang pasti datang," ujarnya.
"Tergantung dengan lelaki itu yang duduk di depan itu, kapan melamarnya," kata dokter sambil menunjuk ke aku yang duduk di kursi kayu di hamparan rumput jarum yang tumbuh subur depan Puskesmas.
Aku yang ditunjuk jadi tersipu malu. Malu dan kemudian malah membuatku jadi jengah.
Itu adalah kenangan bertahun-tahun lalu di daerah transmigrasi. Kadang kalau ingat hal itu, sering aku dan kaki kupu-kupu tertawa ngakak.Â
Kami yang sering terpisah karena pendidikan dan pekerjaan sejak dulu sampai sekarang selalu menikmati apa yang bisa dinikmati. Kami hampir tidak pernah memimpikan hal-hal yang berada di luar jangkauan kami.
Get  what  you  can  get. Itu adalah pernyataan kami ketika kami sedang dalam perjalanan melintasi Sungai Musi untuk pulang ke Palembang dari daerah tugas.
Kalimat itu muncul karena kapal cepat 200 PK yang kami tumpangi mati mesin dan terombang-ambing di perairan. Malam gulita yang ada adalah gemintang di langit yang cerah.Â
Pengemudi kapal dan kenek kapal mengingatkan seluruh penumpang untuk menutup pintu kapal, buaya rawa biasanya akan mendekat mencari makan. Suasana menjadi makin mencekam karena dari di sungai sudah muncul pergerakan cahaya mata buaya yang berwarna oranye sebesar bola pimpong.
Sudah lebih dari 30 menit pengemudi kapal dan kenek kapal berusaha untuk menghidupkan mesin tetapi belum hidup juga. Dari kaca kapal terlihat buaya muara yang tadinya hanya melihat dari kejauhan sekarang sudah mulai berani mendekat.
Satu waktu aku pernah melihat betapa hebatnya buaya muara. Monyet yang ada di pinggiran hutan mangrove, disambar oleh buaya muara dengan kecepatan yang sulit ditangkap mata kecuali oleh kamera yang memiliki fitur  slow motion.  Buaya muara seakan-akan bisa terbang untuk menyambar monyet.