Perempuan itupun polos berganti gaun tidur. Tergolek lelah di tempat tidur.
"Terimakasih sudah menemani," katanya lirih.
Tak sampai dua puluh menit perempuan itu tidur karena kelelahan. Akupun memasangkan selimut ke tubuhnya yang polos berantakan. Aku terlelap di kursi di samping tempat tidurnya. Menjaganya seperti anjing penjaga yang setia pada seorang perempuan yang memiliki dua anak lelaki.
Tiket Sekali Jalan
Siang itu di bandara, aku tersenyum. Dua perempuan yang kukenal cantik plus seksi dan bisa mencari duit sendiri ternyata terkapar oleh janji lelaki. Lelaki yang bikin mereka rela menyerahkan semuanya. Hati, kepercayaan, dan juga cinta.
Keduanya terjebak oleh tiket sekali jalan. Sebuah tiket mematikan dan membunuh kebahagian yang sebenarnya semu. Sebuah tiket yang baru diketahui ketika si perempuan pada satu titik kesadaran roda yang berputar-putar di situ-situ saja.
Ketika si lelaki tak berani menikahi. Ketika si lelaki ternyata hanya menikmati ataupun hanya mengisi kekosongan dari istri mereka masing-masing. Mereka menjamah perempuan-perempuan yang tak berdosa yang kemudian menjadikan perempuan pendosa karena sudah menipu istri lelaki. Ibaratnya seperti bola pingpong. Susah untuk memutuskan siapa yang bersalah dan yang memulai.
Singkatnya sebenarnya cuma satu, bertepuk tangan tak mungkin sebelah tangan. Bertepuk itu dengan dua tangan.
Kalau ada yang bilang kok nggak  move  on-move  on ya karena memang tak mudah untuk  move on. Jebakan tiket sekali jalan itu sudah menggurat dalam dan menjadi luka yang sukar tersembuhkan. Luka menjadi dendam.
Aku harus transit di bandara. Aku ingin segera sampai. Walau malam aku ingin lewat di taman mawar putih. Tumbuhan itu sudah menjangkar di hatiku, menjaga agar emaknya tak cemburu. Aku tak ingin memberi tiket sekali jalan pada perempuan lain. Cukuplah aku memberi tiket pada emaknya mawar putih.
Salam Kompal