Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Gunung Dempo Serpihan Surga yang Menyapa Jiwa

23 Juli 2018   10:59 Diperbarui: 23 Juli 2018   11:18 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Istirahat Sambil Menunggu Jemputan I Foto: OtnasusidE

Pemandangan indah itu ciptaan yang Maha Sempurna. Punggung Bukit Barisan Sumatra itu indah. Jalannya meliuk-liuk. Hampir sepanjang Jalan Lintas Tengah Sumatra menunjukkan pemandangan yang indah. Kalau lagi beruntung kita akan bertemu dengan warga yang menjual durian, sawo, jambu air, dan juga cempedak.

Bahkan petai terkadang di gantung di depan pondok depan rumah warga yang sengaja di gantung untuk dijual pada siapapun yang tergiur. Aku bersama teman kalau melihat petai biasanya langsung ngeces termasuk melihat durian. Mampir sebentar untuk sekedar melepaskan rasa ingin menikmatinya. Kalau duren makan di tempat, petai dibawa pulang untuk dimasak paling sering nasi goreng.

Semua itu bisa ditawar. Akan ada pertanyaan darimana mau ke mana? Tersenyumlah. Maka kau akan dibalas dengan senyum. Apalagi kalau bisa bahasa daerah setempat. Percayalah akan ada dialog indah, canda tawa yang ngangenin. Itulah sebagian surga keramahtamahan warga Bukit Barisan Sumatra.

Memasuki kawasan Lahat dan kemudian Pagaralam maka liukan khas Bukit Barisan Sumatra semakin jelas terasa. Tekanan udara di kuping sudah mulai terasa bagi yang biasa tinggal di pesisir.

Masuk di Gumay akan melihat Sungai Selangis yang deras berkelok dari pinggir jalan dengan kerimbunan pohon. Sebagian sudah ditebas menjadi kebun kopi. He he he. Biar begitu, keindahannya masih menggetarkan.

Warga pun membuka Bukit Selfie agar pengembara aspal seperti kami dapat sekedar melepas lelah berkendara sebelum masuk ke Kota Pagaralam. Silahkan berfoto ria dengan  background  Bukit Barisan. Setiap orang perspot foto diminta sumbangan Rp 5 ribu rupiah untuk memelihara spot-spot yang ada.

Memasuki Kota Pagaralam sudah terlihat Gunung Dempo. Dari simpang Manna, Gunung Dempo seakan-akan memanggil temuilah keindahan ku. Ku kan menyambutmu. Perjalanan melelahkanmu akan terbalas.

Mau tinggal di mana silahkan pilih. Berjalan-jalanlah dulu sebentar akan banyak hotel, home stay, dan juga vila-vila. Pilihlah semua punya kelebihan dan kekurangan.

Siang menjelang, aku ditemani  gadis  canggung.  Gadis ini supel dan mengajakku untuk melihat sisi lain Gunung Dempo. Gunung Dempo memang tidak hanya indah juga memberikan ratusan bahkan ribuan spot foto yang indah. Dari sudut mana pun, dari berbagai waktu selalu memberikan spot yang indah.

Apalagi kalau kita selalu menghisap udaranya dengan penuh cinta. Akan ada perasaan sadar diri  dan juga rasa syukur yang mendalam yang seakan memompa semangat untuk kreatif dan tertunduk sebagai makhluk kecil di bentangan alam yang nan luas ini.

Sambil duduk di belakang setir, si gadis canggung mengungkapkan Gunung Dempo bukan soal keindahan alamnya saja. Si gadis canggung awalnya memintaku untuk menyetir mobil tetapi setelah kusampaikan aku nggak bisa nyetir karena trauma, akhirnya si gadis canggung yang nyetir.

Aku nggak bisa nyetir, si kaki kupu-kupu tahu itu. Aku hanya nyetir sekitar 6 bulan untuk si kaki kupu-kupu karena dia hamil hingga melahirkan. Perutnya  dah  nyenggol setir sedangkan dia mesti kerja dari pagi hingga malam.            

Gunung Dempo itu juga soal keramahan. Gunung Dempo itu juga soal ekonomi. Gunung Dempo itu soal kebudayaan. Gunung Dempo itu jantung kehidupan  Wong  Pagaralam.

"Kakak lihatlah. Lihatlah dari dekat. Ajaklah ngobrol para pemetik teh itu," kata si gadis canggung sambal memberhentikan mobil di sebuah tikungan.

Akupun turun. Dan sungguh di luar dugaan. Para pemetik teh yang kebanyakan ibu-ibu itu enak diajak bicara. Ngobrol apa saja sambil tertawa. Ketika izin untuk memotret mereka. Mereka pun tertawa.

"Mosok  yang dipotret ibu-ibu yang metik teh. Apa nggak salah," katanya.

Mereka tertawa dan tersenyum. Walau begitu tangannya yang terlatih terus bekerja memotongi pucuk-pucuk teh muda. Sambil berbicara satu sama lain dan juga terkadang menjawab pertanyaanku, mereka terus bekerja.

Pemetik Teh di Tengah Terik Mentari I Foto: OtnasusidE
Pemetik Teh di Tengah Terik Mentari I Foto: OtnasusidE
Alat Pemotong Teh di Caping I Foto: OtnasusidE
Alat Pemotong Teh di Caping I Foto: OtnasusidE
Cara Memegang Alat Potong Teh I Foto: OtnasusidE
Cara Memegang Alat Potong Teh I Foto: OtnasusidE
Potong Teh I Foto: OtnasusidE
Potong Teh I Foto: OtnasusidE
Beberapa ibu yang karungnya sudah penuh terlihat keluar dari barisan dan naik ke atas jalan. Satu karung di sunggi dan satu kinjar ada di belakang punggung mereka. Belum lagi harus jalan menanjak ke atas untuk sampai ke pinggir jalan.  Sebuah pemandangan menakjubkan bagi aku seorang lelaki dan aku jelas tak sanggup. Mereka adalah perempuan perkasa.

Perempuan Perkasa I Foto: OtnasusidE
Perempuan Perkasa I Foto: OtnasusidE
Akhirnya Sampai di Pinggir Jalan I Foto: OtnasusidE
Akhirnya Sampai di Pinggir Jalan I Foto: OtnasusidE
Ada harapan untuk sekolah yang lebih tinggi bagi anak-anak mereka. "Kami bekerja seperti ini untuk anak-anak dan juga untuk menyambung hidup. Anak-anak biar sekolah yang tinggi. Biarlah dia keluar," kata seorang pemetik teh.

Pagi buta menembus halimun mereka naik truk menuju titik yang telah ditentukan oleh mandor. Mereka bekerja ketika matahari belum mengintip dan selesai setelah petak yang telah ditetapkan selesai dipotong. Pukul 14.00 biasanya selesai. Dan hasilnya ditimbang untuk dibawa ke Pabrik Teh Gunung Dempo.

Petak yang sudah dipotong terlihat jelas, hijau muda. Petak yang belum dipotong terlihat hijau tua. Ini bukan soal rumput tetangga lebih hijau atau si gadis canggung lebih muda. Bukan. Ini soal kualitas Teh Gunung Dempo yang memang ditanam di arah timur sehingga mendapatkan sinar mentari pagi yang menyehatkan.

Teh Gunung Dempo yang dipotong adalah memang yang muda-muda. Jadi silahkan berimajinasi dengan daun muda setiap minum Teh Gunung Dempo.

Akupun pamit dan satu truk datang untuk menimbang hasil kerja mereka dari pagi buta hingga ke jelang sore. Mereka pun pulang ke titik penjemputan awal. Dan keesokan hari mereka pasti akan kembali ke titik penjemputan dan kembali bekerja ke titik yang telah ditentukan.

Istirahat Sambil Menunggu Jemputan I Foto: OtnasusidE
Istirahat Sambil Menunggu Jemputan I Foto: OtnasusidE
Sungguh Gunung Dempo memang bukan soal keindahan hamparan teh tetapi juga soal kehidupan sehari-hari. Soal kebernerimaan akan kerja dan jalan hidup. Gunung Dempo adalah cita-cita dan banyak yang menggantung hidup dari Gunung Dempo.

Jadi peliharalah ciptaan yang Maha Sempurna ini agar bisa dinikmati oleh anak cucu cicit. Janganlah membuat kerusakan sehingga Gunung Dempo tak nyaman lagi menyapa dari Simpang Mana. Mari buat Gunung Dempo selalu menyapa indah dan merdu dari Simpang Mana. Menyapa jiwa kita yang penat oleh hiruk pikuk kehidupan.

Salam Kompal

img-20180707-wa0031-5b5559a5d1962e74c37a1e54.jpg
img-20180707-wa0031-5b5559a5d1962e74c37a1e54.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun