Sebelum turun gunung, aku bersama seorang teman makan bakso telur "P" di dekat Terminal Nendagung. Lelaki muda yang melayani kami, raut mukanya tetap senyum dan malah menyodorkan peyek kacang gurih lembut pada kami.
"Peyeknya sudah datang, Pak. Harga biasa," katanya.
Adonan peyek itu lembut gurih karena ada potongan daun jeruk, kacang, santan dan telur. Temanku yang selalu baik hati sebelum membayar semua yang kami makan memintaku untuk membawa beberapa bungkus lagi.
Nah, harga bakso telur yang kumakan pun masih tetap sama, Rp 12 ribu. Padahal harga telur sudah Rp 28 ribu perkilogram.
Paginya, iseng-iseng, jalan-jalan pagi lalu beli nasi merah pun masih diberi suiran telur. Beli bolu pun tak ada raut muka cemberut. Semua pasang wajah senyum melayani.
Lah, di Medsos harga telur yang Rp 28 ribu heboh minta ampun. Mereka protes dan ada pula yang memarahi sistem distribusi dan lain sebagainya.
Pelayan bakso yang kami beli sore itu, ketika ditanya harga telur mengatakan sudah biasa dalam hukum dagang. "Biasa. Mau apalagi. Kadang untung banyak, kadang untung sedikit. Telur pasti turunlah nggak mungkin naik terus. Kalau naik dan terus bertahan diharga itu ya kita sesuaikan harga bakso telurnya. Daging dulu yang sempat heboh pun harga bakso masih segini," katanya tersenyum.
Penjual sarapan pagi di Jalan Gunung pun ditanya harga telur malah senyum. "Harga perpotong bolu masih seribu. Nasi lemak merah yang diberi suwir telur juga masih enam ribu".
"Rugi dong," kata temanku.
"Tutup Pak kalau rugi," kata si penjual.