Ujaran itu sepertinya ditujukan padaku. Dan ketika aku berbalik ke belakang, si pedagang tersenyum. Aku yang mengenakan celana pendek merah, berkaos putih dan bersepatu kets tersenyum. "Kapan-kapan kita senam bareng," tambah si pedagang. Aku tersenyum dan membalas dengan mengacungkan ibu jari.
Para pemain telur alias yang setiap hari berkutatan dengan telur untuk membuat bakso, kue dan juga panganan lain, aku yakin dalam hati mereka meminta agar telur kembali normal. Atau paling rasional setelah nggak kuat lagi ya menaikkan sedikit harga jual. Hukum ekonomi pasti berjalan.
Ada semangat dalam jiwa orang-orang yang aku temui. Semangat positif. Semangat untuk terus berkarya.
Sebaliknya ada juga orang yang dengan harga telur yang naik malah bersemangat negatif. Mengeluhnya lebih banyak dibandingkan usahanya.
Aku bukan motivator tetapi aku percaya dengan usaha. Y seorang teman yang pendidikannya hanya SMP, berbadan tegap selalu mau menolong orang yang meminta tolong padanya. Pada akhirnya ketika ada pembagian rezeki sang bos yang melihat semangat Y memberikan bonus yang banyak dibandingkan rekannya yang lain yang hanya bekerja sesuai porsinya saja.
Lalu apa hubungannya dengan telur. Aku berkeyakinan pedagang bakso akan inovatif kalau harga telur mencapai Rp 50 ribu sekilo. Begitupun dengan para pedagang sarapan pagi di Jalan Gunung akan berinovasi agar mereka dapat terus berdagang dan mengais rezeki yang halal.
Pagi ini aku sarapan bubur ayam di Simpang Tiga Pasar. Aku dan temanku masih ditawari oleh pedagang bubur, "pake telor nggak Pak". "Pake," jawabku.
Sesuai dengan wejangan kaki kupu-kupu yang sering bermain telur, aku dilarang makan alias harus mengurangi makan kuning telur. Semoga dengan kenaikan telur ini, eh salah kenaikan harga telur akan membuat semua pemain telur untuk kreatif menelurkan inovasi produk yang dapat diterima pasar.
Salam dari Punggung Bukit Barisan Sumatra
Salam Kompal