Aku rada sedikit gemes dengan istriku. Jauh hari sudah bilang ingin nonton Java Jazz Festival 2018 di JIExpo Kemayoran Jakarta. Tetapi apa mau dikata istriku ada kegiatan yang tak bisa ditinggalkan apalagi diwakilkan.
Istri pun tak ngirim tiket balik ke rumah ke Taman S. Perempuan berambut sebahu itu pasti tak mau lelaki berkulit hitam dan berambut seperti tak disisir ini nonton sendirian. Jadinya  ya aku masih tetap di Punggung Bukit Barisan Sumatra. Menunggui air yang turun dari langit kalau malam hari karena memang lagi musim hujan.
Loh, kenapa aku  ngebet untuk nonton Java Jazz Festival 2018. Tak lain dan tak bukan karena ada Elek Yo Band yang sedang naik daun. Sebuah grup yang pemainnya mentri dari Kabinet Kerja, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, gitaris sekaligus vokalis Elek Yo Band, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono pada drum, Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf pada keyboard, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada gitar akustik dan vokal. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Koordinator staf KhususTeten Masduki pada vokal.
Aku hanya ingin melihatnya langsung. Aku ingin merasakan atmosfer Elek Yo Band membawakan lagu. Aku ingin menghisap atmosfer keikhlasan mereka menghibur masyarakat.
Mungkin juga nada musik yang mereka mainkan ada yang salah. Begitupun dengan vokalnya Bu SMI, Pak Hanif, Bu Retno, Pak Budi, dan Pak Teten tapi ya saya yakin bukan itu yang dicari-cari karena mereka  toh bukan ikut audisi.
Hal yang kucari adalah keberanian mereka untuk unjuk gigi. Keberanian mereka untuk berlatih usai bekerja melayani masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Keberanian mereka untuk menerima kritik.
Elek Yo Band dalam tradisi konflik merupakan oase pelepas penat. Kepenatan yang tak tersalurkan akan mengakibatkan penyumbatan yang dapat mengakibatkan konflik yang tak berujung.
Justru oase Elek Yo Band menjadikan semuanya menjadi cair. Komunikasi yang bisa saja macet dalam pengambilan kebijakan secara tradisional karena semuanya mencair menjadi lebih mudah dan dapat dicarikan solusinya diantara para mentri.
Bukan hanya itu, kekompakan mereka di panggung justru menjadi sebuah tontonan yang sangat menghibur. Akibatnya ketidaksempurnaan mereka justru diterima dan menjadi sebuah hal yang harus, karena kalau tidak mereka adalah pemusik profesional bukan mentri yang profesional. Inilah anomali.
Satu hal yang kuharap, suatu hari nanti, sang penggemar Band Metallica Pak Dhe Jokowi dapat menjadi vokalis Elek Yo Band bersama dengan vokalis lainnya. Dalam satu panggung mereka berkemeja putih dengan lengan tergulung, mau fals vokal ataupun salah nada musik biarkanlah karena mereka adalah Elek Yo Band.
Walaupun tak jadi mengirim tiket, istriku selalu baik hati dan selalu tahu kapan aku butuh kiriman kuota data di Punggung Bukit Barisan Sumatra. Akhirnya aku menikmati Elek Yo Band melalui youtube. Kangenku pun terobati.
Di youtube terlihat kemeriahan yang berhasil Elek Yo Band buat. Teriakan, tawa, tepuk tangan dan juga permintaan menambah lagu disampaikan oleh penonton Java Jazz 2018. Disinilah Histeria Elek Yo Band muncul.
Aku yang menonton dari youtube saja bahagia. Aku tersenyum karena ternyata Chairman Java Festival Production, Peter F. Gontha meminta agar Elek Yo Ben bisa main setiap tahun. "Biar laku karcisnya," kata Peter yang langsung disambut tawa oleh para penonton.
Jangan dikira putaran ekonomi di Java Jazz kecil. Putarannya aku yakin sangat besar baik di dalam maupun di luar serta pendukung pelaksanaan Java Jazz.
Jadi Elek Yo Band. Salam kreatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H