Jalur Lahat-Kota Agung merupakan jalur berbahaya. Bagi pengemudi yang kurang cekatan, lebih baik memacu kendaraan tak lebih dari 40 Km per jam. Jalur ini hanya muat dua mobil dengan sedikit berem jalan. Bahkan di beberapa tempat terjadi longsor hingga memakan badan jalan dan membuat pengemudi harus mengalah satu sama lain agar bisa melewati jalur ini.
Inilah ciri khas jalan-jalan di puncak-puncak Punggung Bukit Barisan Sumatera sebelah kiri atau kanan pasti sungai ataupun jurang. Jalur Lahat-Kota Agung di kirinya merupakan Sungai Lematang.
Setelah sering kali lewat jalur ini, akhirnya satu hari aku pun menghentikan perjalanan untuk turun ke tepi Sungai Lematang. Nama daerahnya keren-keren di antaranya ada Tanjung Sirih, Desa Jati dan ada juga Desa Kuba. Aku pun memilih Kuba yang masuk dalam Kecamatan Pulau Pinang.
Bebatuan harus kami lewati untuk mencapai tepi sungai. Di Sungai Lematang terlihat beberapa lelaki sedang berada di tengah sungai. Mereka terlihat seperti berjongkok dan juga menggerak-gerakkan kayu.
Arus yang deras tak membuat nyali mereka ciut. Mereka tampak tenang menggerakkan kayu tersebut ke atas dan ke bawah kadang juga ke samping kiri dan kanan. Sekitar 20 menitan mereka melakukan hal itu.
Setelah mereka naik. Barulah diketahui kalau mereka sedang mencari pasir dengan alat seperti sekop yang bulat. Pasir-pasir itu kemudian dikumpulkan dengan gerobak sorong atau di kumpulkan di pinggiran sungai. Mereka bekerja berkelompok untuk memenuhi pesanan satu truk pasir.
Ada beberapa warga yang tidak mengenakan kaos untuk menutupi tubuhnya, akibatnya punggung mereka pun hitam mengilap. Belum lagi rasa dingin berendam di Sungai Lematang. Di punggung panas, di tubuh yang terendam dingin. Itulah rasanya.
Warga yang cekatan dan memiliki keahlian berenang yang baik biasanya memilih menggunakan ban dalam besar untuk mencari pasir di tengah. Di situlah sebenarnya pasir banyak tetapi risiko yang harus ditempuh juga besar. Warga bisa terbawa arus. Itulah fungsi ban dalam besar. Selain berfungsi sebagai tempat pengumpul pasir juga berfungsi sebagai tempat istirahat dan penyelamat darurat.
Harun yang menjadi pencari pasir sejak 5 tahun terakhir mengungkapkan kalau dirinya mencari pasir untuk tambahan penghasilan. Sehari maksimal mendapat Rp 30.000.
"Jadilah untuk menyambung hidup. Sawah belum panen. Pekerjaan di dusun itu begini, kata Harun.
Dua anak yang masih sekolah dan juga kebutuhan hidup sehari-hari menjadi beban untuk terus bertahan. Lapangan pekerjaan lain tak tersedia bagi Harun yang sekolah SMA pun tak tamat.
Kalau mengikuti jalur Lintas Tengah Sumatra, akan terpapar pemandangan, ratusan orang menggantungkan hidup dari Sungai Lematang, mulai dari Merapi Raya hingga ke Kota Lahat. Keahlian tak ada. Akhirnya pilihan terakhir untuk mencari rezeki adalah dengan menjual tenaga. Berjibaku dengan taruhan nyawa di Sungai Lematang mengais pasir dan batu untuk memenuhi kehidupan keluarga.
Lets check it dot aksi mereka.
Salam Kompal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H