"Kakak, Pak Dhe, pakai sepatu kets merah," teriak temanku yang sedang istirahat di pondok kebun*).
"Memangnya kenapa?" teriakku.
"Mintalah ke istrimu untuk belikan sepatu lapanganmu," katanya sambil keluar dari pondok setinggi satu setengah meter itu.
Aku yang lagi berkalang tanah dan memegang cangkul tersenyum. Temanku berlari dan memberikan telepon pintarnya. Aku menolak karena tanganku penuh dengan tanah. Akhirnya dia yang menunjukkan dan menggeser-geserkannya agar aku bisa membaca beritanya.
Usai membacanya. Aku kembali tersenyum.
Aku menanami pinggiran kebun dengan cabai rawit, kemangi, laos, daun sop dan daun bawang. Kangkung dan bayam pun ada. Aku berharap agar setiap jengkal tanah ini bermanfaat tidak saja untukku tetapi juga teman-teman yang sudah bergotong royong untuk mewujudkan mimpi kami punya kebun. Kalaupun ada warga sekitar yang membutuhkan kami berikan.
Jelang siang kami beristirahat. Nasi yang ditanak dengan kayu bakar sudah matang. Makan dengan dadar telur pedas dan rebusan kangkung plus kerupuk terasa nikmat.
Aku pun mengirim  link berita tersebut ke istri melalui WA. Sekitar sejam kemudian baru ada balasan.
"Terus maksudnya apa," tanya istriku.
"Maksudku apakah aku sudah bisa dibelikan sepatu baru. Sepatu casual yang ada sudah dua kali dijahit. Kulitnya juga sudah terkelupas. Sepatu lapangan juga sudah dijahit"
"Kamu itu seperti Kakak, Kevin dan Kayla. Kalau keinginan belum tercapai belum menyerah"