"Kak di kota ado pengumpulan koin untuk Pilkada"
"Terus" balasku
"Kagek nak dienjukke ke ..."
"Ngapo cak itu"
"Supayo calon yang diusung bisa ikut Pilkada"
Tak berapa lama masuklah foto berita cetak mengenai pengumpulan koin itu.
***
Pesan itu dikirim teman melalui WA yang merupakan aplikasi buatan USA alias Amerika, termasuk hak paten dan hak ciptanya orang Amerika. Beberapa hari ini aku lagi riang-riangnya main WA karena mendapat pinjaman abadi telepon pintar dari adikku. Tapi kadang  ya itu, kalo lagi di kebun macet. Aku bersyukur kalo macet 2G, 3G, 4G. Alasannya  ya aku sendiri yang tahu.  He he he.
Di rumah aku mencari buku KBBI ternyata tertinggal nun jauh di sana. Akupun akhirnya membuka  notebook dan bertanya pada  Mbah Google yang buatan USA alias Amerika, termasuk hak paten dan hak ciptanya orang Amerika. Aku memilih membuka KBBI daring, hasilnya koin adalah mata uang logam. Tidak ada penjelasan lain atau contoh penggunaanya.
Koin itu pecahan kecil. Dulu sekali ada Rp 5 dan Rp 10. Dulu ada RP 25 tetapi sekarang cukup sulit untuk mendapatkannya. Pecahan yang sering didapat sekarang adalah Rp 100, Rp 500 dan Rp 1.000. Jadi mau berapa berat dan berapa banyak untuk mengumpulkan Rp 5.000.000 saja?
Lalu apa hubungannya dengan Pilkada di daerah kami. Sederhana ternyata karena mereka kecewa dengan sistem yang ada. Biaya besar baik untuk melalui jalur perorangan maupun jalur partai politik. Informasi yang layak tidak dapat dipercaya jagoannya sampai saat ini mengalami kebuntuan komunikasi politik dengan partai politik. Jadi kemungkinan jagoannya untuk mendaftar melalui partai politik minggu kedua Januari 2018 ini sangat sangat mencemaskan mereka.
Tapi itulah politik. Mau apalagi? Prosedurnya memang demikian dan ingat itu diatur oleh undang-undang. Kalau terjadi pergeseran makna dan transaksional di lapangan tidak ada yang bisa mengendalikannya.
Lalu apakah salah anak-anak muda itu mengumpulkan koin untuk jagoannya agar bisa ikut Pilkada? Jawabnya adalah tidak. Itu adalah riak demokrasi. Tetapi secara politik sebenarnya itu adalah gagal strategi. Yup, Â gagal strategi karena mereka semestinya sudah tahu sistem politik di Indonesia dan juga sistem Pilkada Langsung. Mereka semestinya sudah membaca peraturan perundang-undangan.
Kalau memang mereka adalah anak-anak muda yang ingin keluar dari  pakem politik yang ada, mereka harus kreatif. Kenapa tidak dilakukan jauh hari? Kenapa tidak membuat gerakan sosial anak muda untuk jualan jagoannya agar dapat ikut Pilkada? Jalur perorangan merupakan jalur yang agak rasional terjangkau bila penggalangan oleh anak-anak muda itu dilakukan dengan benar dan terstruktur. Justru menarik bila jagoannya bisa menjadi bola salju dan menjadi trendsetter.
Kalau sekarang mengumpulkan koin sepertinya hanya menjadi riak demokrasi yang akan hilang terlupakan tak bisa menjadi pressure group pada partai politik untuk melirik jagoannya. Apapun yang kau lakukan anak muda itu bagus. Paling tidak engkau sudah menyuarakan politikmu. Upss, hampir lupa tulisan ini dibuat dengan menggunakan office dan windows yang merupakan buatan USA alias Amerika, hak paten dan hak cipta orang Amerika juga. Aku lagi disindir teman untuk menggunakan openoffice dan linux dalam berkarya. Openoffice dan linux,upss buatan siapa ya?
Kalau ngomong, Â jangan asal ngomong. Lah, kalau ngomong asal cuap saja, tanpa tahu konsekuensinya dan tidak dilaksanakan artinya, ya ngomong-ngomong itu omong kosong yang cari sensasi ngomong.
Selamat Datang Tahun Politik 2018. Salam dari Puncak Punggung Bukit Barisan Sumatra, Indonesia
![logo kompal](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/01/01/logo-kompal-baru-5a49d2f05e1373671572dde4.jpg?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI