"Tepat waktukah?".
"Tidak. Aku sudah punya persiapan. Air dan makanan. Seperti biasa?".
Aku cuma bisa tersenyum dengan pembicaraan tadi. Itu ketika aku menelpon istriku yang akan menjengukku di Puncak Punggung Bukit Barisan Sumatra dengan menggunakan pesawat.
***
Kami memang harus berhemat sehemat-hematnya. Setelah memutuskan berhenti kerja dan bergentayangan ke mana-mana akhirnya aku memilih untuk bekerja di tanah. Menggarap lahan. Hasilnya memang masih proses.
Selama beberapa tahun ini memang istriku yang menjadi tulang punggung keluarga. Istriku hampir seratus persen yang membiayai kehidupan tiga anakku dan aku serta dirinya sendiri.
Sekolah, berbagai kursus, belum lagi hobi ketiga anakku yang  super  duper   harus diakomodir, ojek dan juga makan sehari-hari. Biaya listrik, PAM dan gas, semua diurus oleh perempuan yang dulu pernah berjalan kaki untuk kuliah selama dua bulan agar aku dapat membeli tiket untuk pulang ke rumah.
Satu yang membuatku terenyuh adalah ketika kami berdiri di ladang garapan. "Bekerjalah dengan hatimu. Nikmatilah. Jangan lupa untuk selalu bersyukur dan berdoa atas semua capaian yang telah kita capai bersama".
"Kau menyesalkah?" tanyaku.
"Aku sudah memilihmu. Aku tidak pernah menyesal hidup denganmu. Ha ha ha kan dulu dirimu sudah banting tulang dan otakmu pun sudah jungkir balik untuk 200 halamanku".
"Itu dulu. Sekarang lain. Aku makin menghitam. Pulang ke rumah pun sebulan sekali".