Tanganku meraih kamera. Tetapi tangannya menahan tanganku. "Potretlah aku seutuhnya dengan mata dan jiwamu. Simpanlah di memorimu!".
Nafasku memburu. Darahku berdesir. "Masih cukupkah aku," tanyaku. Tidak ada suara. Hanya gerakan tangannya yang membimbingku. Hanya geliatnya yang membimbingku.
***
"Jangan pulang dulu. Temanilah aku di Jakarta. Aku ingin istirahat".
"Apa kau menyesal".
"Tidak," jawabku.
Semilir angin di Pantai Ancol membuat ribuan kenangan membuncah. Membuat ribuan gambar diterbangkan angin.
Dengan berpegangan tangan aku dan dirinya menikmati jembatan Pantai Ancol. Ada yang sedang berenang. Ada yang sedang lari. Ada yang main sepeda.
Kami berjalan seakan tak menghiraukan aktivitas sekeliling. Kami pun seakan tak dianggap.
Tibalah di pertengahan jembatan. Ada dermaga yang menjorok ke laut. Dermaga Hati, namanya.
Tangannya ku lepas. Awalnya dirinya sempat menolak. Tatapan mataku membuatnya percaya. Dirinya pun berjalan sendiri. Menatap ke laut dan kemudian menatap ke pintu Dermaga Hati.