Dua anak perempuan itu. Lucu banget. Rambutnya tergerai. Satu ngikal dan satu lurus. Hiiikkk. Mereka merdeka. Mau marah ditunjukkan. Mau sebel ya ditunjukkan. So, terkadang orang bilang mereka kurang ajar.
Upss. Tapi banyak yang kusuka dari mereka. Ekspresinya. Terus nggak mau buang sampah sembarangan. Sampah kecil mereka kantongi. Sampah besar dimasukin dalam tas. Sampai di rumah atau di tempat yang ada pembuangan sampahnya mereka baru buang.
Mereka sering ditinggal secara berkala oleh kedua orangtuanya. Tugas. Hikkk. Di saat maha penting dalam hidupnya pun, mereka ditinggal. UN SMU dan juga ikut ujian perguruan tinggi negeri. Bersyukur. Mereka lolos UN dan juga lolos ujian perguruan tinggi negeri.
Itu dua anak perempuan yang menggemaskan dan menjengkelkan plus menyegarkan hidup. Kadang mereka meminta sesuatu itu pada waktu yang mepet. Ampun dj. Lah, kalau pas duit tidak ada bagaimana? Loh, bapaknya saja oleh si anak berambut lurus dijuluki sebagai pengangguran tak kentara. Wak wak wak.
Entah apa yang menyebabkan lensa ini tiba-tiba mengarah ke dirinya. Si anak ini terlihat melet-melet. Mukanya cakep tapi kalau di foto sepertinya sengaja membuat tukang fotonya gemes. Hikkszz.
Singkat tulisan. Ternyata anak laki-laki berbadan lumayan gede ini duduk di kelas 4 SD. “Bantu gurumu. Bantu teman-temanmu. Pintar. Ganteng. Nggak ada guna kalau tidak berperilaku baik pada sesama dan keluarga,” kataku. Eh si bocah, ngangguk. Hikkzzz.
Si guru cerita kalau si anak itu termasuk di atas rata-rata. “Ulangannya rata-rata di atas 90. Cuma jangan tanya perilakunya agak nakal dan susah diatur,” ungkap sang guru.
Esok harinya. Iseng saja aku ketika sedang melanjutkan latihan baris berbaris. Aku mintai tolong dia untuk membagikan makanan ringan dan air minum pada teman-temannya. Eh walah. Nurut. Kardus yang lumayan besar itu dia angkat dan dia bagikan makanan ringan dan minuman itu pada teman-temannya dari depan hingga ke belakang.
Wajahnya sumringah. Keringat jelas mengucur dari jidatnya. Hikzzz waktu itu matahari bersinar membuat lapangan MTQ membara hingga 40 derajat.
Hari selanjutnya iseng aku tanya. “Bapak dan emakmu di mana?” “Bapak di Jakarta kerja. Emak buka warung di Palembang.” “Kamu tinggal sama siapa?” “Sama tante. Bapak sebulan sekali pulang. Emak setiap JSM.” “Apa itu JSM?” “Jumat Sabtu Minggu, om,” kata si bocah sambil tertawa.
Duh. Jadi malu. Aku dan temanku Kuyung adalah pekerja ulang alik alias sama dengan JSM. Kami terkadang pulang larut malam dari Lahat menuju Palembang atau sebaliknya, hanya untuk menengok sang buah hati. Berpacu di jalan lintas tengah dan timur Sumatra.
Wak wak wak. Kadang jualan laku. Kadang apes cuma bisa untuk menutupi ongkos pulang.
Eh, lalu ingat ungkapan seorang teman perempuan. “Aku punya anak karena memang aku ingin punya anak. Aku ingin mendidiknya. Hidupku sudah untuk anakku. Me time. Kadang-kadang ada sih. Tapi melihatnya mukanya dan juga keisengannya pada adiknya sungguh itu sudah menghilangkan, me time.”
“Ketika aku berjuang untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Anakku pun berjuang untukku. Aku terkadang menangis di dalam hati. Dia berjuang dengan caranya sendiri, mendapatkan nilai terbaik untuk dirinya. Dia berjuang dengan bangun subuh untuk belajar,” ungkapnya.
Semua itu terwujud karena anak-anak itu dibesarkan dengan cinta. Dibesarkan dengan kasih sayang dan juga nilai-nilai kemandirian dan semangat kebersamaan. Dibesarkan dengan keterbukaan keluarga. Satu hal. “Jangan pernah meniadakan satupun dari pembentuk keluarga.”
Salam Kompasiana
Tulisan ini terinspirasi dari Fast and Furious 8
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H