Tahun 2016 ini merupakan tahun babak belurnya pemimpin-pemimpin muda yang sebelumnya mampu menang dalam Pilkada di daerahnya masing-masing di Sumatra Selatan. Mereka akhirnya hancur oleh kesalahan mereka sendiri. Satu terjerat Narkoba di Ogan Ilir dan satu terjerat suap di Banyuasin.
Pertanyaannya adalah apakah mereka tak pernah melihat, mendengar, dan membaca mengenai pemimpin-pemimpin yang terjerat hukum. Dengan peralatan canggih dalam genggaman dan diyakini tak pernah habis quota datanya, kuyakin hampir tak pernah ada yang terlewatkan.
Seorang temanku yang rada-rada agak nyadar dikit, pernah berkata, berpolitik itu seperti berjudi. “Kalau sudah terjun di dalamnya susah untuk keluarnya. Sampai roboh. Kalau menang ya bahagia dan bangga.”
Harga kekuasaan memang sangat mahal. Untuk urusan mahar saja sampai menjadi polemik di DKI tetapi akhirnya lemparan bola panas itupun menurun tensinya. Belum lagi urusan kaos dan segala macam pernak perniknya. Yang tak kalah seru adalah pasukan dunia maya. Uhuuuukkkk. Dan pasukan nasi bungkus. Celeguk.
Dalam bahasa urusan bawah perut, tidak ada makan siang gratis. Sedemikiankah? Kalau itu terjadi penuh, artinya demokrasi sudah hancur. Menangiskah para penemu pemerintahan demokrasi?
Kekuasaan memang memabukkan. Setiap pergi dikawal. Setiap acara diprotokoli. Kendaraan dinas ehmmm. Kemana-mana selalu didahulukan, di depan.
Paling menakutkan adalah pesan adalah titah yang harus dijalankan. Akibatnya ya diri menjadi kemaruk. Tak mau berhenti atau susah berhenti untuk bertitah. Bahkan APBD pun dianggap sebagai milik diri.
Padahal yang paling penting dari hingar bingarnya kekuasaan adalah jangan lupa main rem dan menarik rem tangan kalau rem kaki sudah nggak kuat lagi. Nggak perlu bicara agama. Karena kalau sudah berbicara kekuasaan maka akan susah mengingatkannya.
Ibarat orang sedang pacaran maka yang benar adalah diri. Semua orang salah. Bahaso dusunnyo dak mempan tegah.
Kembali muncul pertanyaan mendasar? Apakah memang sudah tak ada lagi calon pemimpin yang mampu memimpin suatu daerah? Apakah sistem untuk pemilihan, mengawasi dan yang menjadi pegangannya yang salah? Apakah kita perlu mengimpor pemimpin dari luar untuk memimpin daerah kita sendiri.
Yuk evaluasi diri. Sudahkah kita berpartipasi dengan proses pemilihan ketua RT, pemilihan ketua amal kematian, dan hal-hal kecil lainnya yang ada di sekeliling kita? Saat itu kita akan tahu siapa diri kita dan juga masyarakat kita dalam struktur masyarakat yang kecil.