Itulah yang membuatkku kini terbaring di pondok kebun kopi warga. Aku juga tak tahu bagaimana Sanelope mengangkat tubuhku yang gemuk itu ke atas. Perjuangannya kuyakin sungguh berat. Belum lagi menyelamatkan satu dry bag.
“Tenanglah. Mungkin punggung dan lenganmu bergeser.”
“Kita di sini mungkin dua sampai tiga hari. Pertama, pasti sopir yang kita sewa akan memberitahu orang kampung kalau kita kena musibah. Kedua, pondok kopi ini pasti akan didatangi pemiliknya. Jadi kita masih bisa tertolonglah.”
Punggungku memang agak sakit demikian pula ketika lenganku digerakkan. Tubuhku sudah kering. Dan sudah berganti celana dan kaos. Sanelope dipastikan yang menggantikan celana basah dan kaos basahku.
“Nggak usah mikir. Aku yang mengeringkan tubuhmu dan menggantikan celana dan kaosmu.”
Air di cerek mendidih. Dan Sanelope pun membuatkan minuman sereal.
Hari sudah menjelang malam. Aku mesti cari ranting untuk perapian. Untung lampu yang ditinggalkan oleh pemilik pondok ini masih ada minyaknya.
Aku yang berusaha membantu dicegahnya. “Istirahatlah dulu. Kau meremehkan kemampuanku.”
Akupun diam saja. Malam merambat pelan. Nyamuk masih bisa terusir karena di dry bag ternyata ada lotion anti nyamuk.
“Kenapa kau lari? Menenggelamkan diri dalam pekerjaanmu. Kau punya bakat. Kau punya talenta. Kau punya semangat. Jangan kau tenggelamkan.”
“Aneh dirimu. Kau malah menasehatiku. Padahal kita sedang dalam bahaya. Kalau malam ini hujan. Pondok ini bisa longsor ke bawah. Matilah kita,” kataku.