Main bakiak. Main tarik tambang. Main lomba karung. Main enggrang. Main dagongan. Main cak engkling. Main tali karet. Makan kerupuk. Gigit duit di labu. Panjat pinang. Tepuk bantal. Gigit sendok berkelereng. Adalah sebagian dari permainan tradisional yang sebagian terkadang dijadikan lomba untuk anak-anak, ibu-ibu hingga bapak-bapak dalam peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Ada yang malu-malu. Ada yang cuek bebek. Ada juga yang menikmati. Demikianlah sebagian permainan tradisional itupun digelar di lapangan parkir Pemkab Lahat jelang 17 Agustus 2016. Ada pelajar, ada aparatur sipil negara, dan dinas instansi lain pun ikut serta.
Di tengah carut marutnya persoalan bangsa. Di tengah persoalan lokal yang belum juga ada jalan keluarnya. Harga karet yang turun hingga harga sekilonya tak mampu membeli sekilo beras. Harga kopi yang jatuh bangun memberi impian sekaligus kerugian seperti permainan roller coaster.
Untungnya padi kami masih berbulir indah. Untungnya panas terik dan terkadang sedikit hujan di bulan Agustus nan keramat ini membuat beberapa warga yang tetap keukeuh bertanam padi masih tersenyum.
“Alhamdulillah. Panen kali ini bagus. Bisa disimpan dan juga bisa sebagian dijual,” kata Fadli petani padi di Kota Agung.
Ah, ternyata tidak hanya di Kota Agung. Petani di Jarai Raya, Merapi Raya, dan di Lahat sendiri juga panen. Sebagian petani di Kikim seperti di Kikim Selatan dan Kikim Barat juga menikmati panen padi tahun ini. Petani di dekat tempat tinggal ku menumpang pun seperti di belakang SD Percontohan Kota Lahat pun menikmatinya. “Terimakasih ini berkah. Inilah yang bisa dikerjakan. Semoga hasil ke depan lebih baik lagi,” ujar Abdullah. Senyum Abdullah terlihat lepas. Walau coklat kulit mukanya karena terbakar terik matahari tangannya yang kasar menunjukkan kalau dia memang pekerja keras lagi kasar.
Bulan Agustus adalah juga bulan gotongroyong memperbaiki kampung. Gapura depan lorong yang sudah memudar diterpa hujan angin dan panas pun dicat dan diperindah dengan hiasan, bendera serta umbul-umbul. Demikian pula dengan kantor-kantor, semua berhias. Semua bergembira menyambut tanggal 17 Agustus.
Permainan bakiak membuat bapak-bapak dan ibu-ibu tertawa. Ada yang menahan senyum. Bahkan, ada pula yang melompat-lompat saking gembiranya. Anak-anak jangan ditanya lagi. Mereka gila, nggak juga, malah ada seorang bapak yang lebih gila lagi, sudah terluka masih ikut terus main.
Permainan dagongan pun membuat bapak-bapak dan ibu-ibu mengerahkan segenap kemampuannya. Mendorong sambil tertawa. Hadeuuuhhh. Eh, malah ditambah senyum lagi, wak wak wak.
Padahal sebenarnya dalam hati kecilnya yang paling dalam mereka sedang memutar otak untuk mengatasi pemotongan anggaran. Putar otak sesuai dengan aturan yang ada agar anggaran 2016 dapat berjalan dengan baik.
Pemotongan anggaran yang merupakan kebijakan pemerintah pusat yang berefek domino hingga ke daerah. Hadeuuuhhhh. Sudahlah Lewis Coser punya safety valve. Mau marah-marah nggak bisalah kan semua anggaran masih tergantung dengan pemerintah pusat. Paling baik adalah menerima apa adanya daripada berdemo apalagi sampai berkonflik mau memerdekakan diri. Moratorium pemekaran daerah belum dicabut kok, jadi bagaimana? Mau memerdekakan diri! Maaf NKRI harga mati.