Bentakan. Teriakan. Hentakan kaki. Tunjukkan dan juga hukuman, ledekan ditambah tertawaan, barangkali itulah yang paling banyak terjadi di Lapangan MTQ Lahat terhadap anak lelaki dan perempuan yang bertinggi badan minimal 170 cm dan 165 cm.
Anak-anak itu pasrah. Anak-anak itu tak bisa melawan. Mereka sepertinya terhipnotis mau saja atas perlakuan orang-orang dewasa yang berbadan tegap dan terlatih itu. Dirudungkah mereka?
Panas terik. Uap panas dari aspal yang terpanggang dari sinaran matahari di bulan Agustus yang merupakan periode kemarau di Punggung Bukit Barisan Lahat itu terlihat dari kejauhan seperti kabut berbayang. Fatamorgana.
Keringat bercucuran. Kulit mereka rata-rata mencoklat hitam. Topi yang menutupi kepala mereka seakan tak kuasa melindungi sinaran matahari yang menerpa wajah-wajah remaja dewasa muda ini. Mereka selalu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sambil tangan memberi hormat dengan tubuh tegap. Mereka selalu menyanyikan lagu-lagu perjuangan kala tubuh diperintahkan untuk istirahat. Lagu-lagu yang meresap hingga tulang belulang mereka.
Tiga puluh enam anak beserta pelatih bertarung adu kuat, daya tahan, berkejaran dengan waktu menuju kesempurnaan gerakan pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2016.
Mereka sudah memilih jalan. Jalan disiplin. Jalan terjal lagi mendaki. Jalan Paskibraka.
“Kita berpanas, berlatih berjuang di sini menuju 17 Agustus. Semua mata akan memandang kalian nanti. Konsentrasi. Jalankan tugas kalian. Kibarkan Bendera Merah Putih. Kalian adalah Paskibaraka,” kata Pelatih, Sugianto.
“Siap,” jawab tiga puluh enam anak.
Kemarahan pelatih ini adalah gemblengan mental. Hukuman adalah latihan fisik. Semuanya bertujuan menuju pada kesempurnaan gerakan mereka agar sukses mengibarkan Sang Saka Merah Putih. Marah tanda cinta. Cinta pada anak-anak yang sudah dianggap darah daging para pelatih sendiri.
Lets check it dot, marah tanda cinta itu.