Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hantu Pohon Pisang

30 Juni 2016   10:05 Diperbarui: 30 Juni 2016   10:24 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap sore sehabis Sholat Maghrib belasan anak-anak, di kampung kami mendatangi rumah Tante Ridwan. Kami belajar mengaji. Dulu yang ada hanya buku Turutan. Sebelum baca Al-Quran, harus baca menamatkan Turutan dulu. Kami semua bersarung dan berkopiah. Bergerombol setelah sholat Maghrib mendatangi rumah Tante Ridwan.

Oleh Tante Ridwan yang diajari terlebih dulu adalah mereka yang rumahnya agak jauh. Dan yang terakhir adalah yang rumahnya dekat. “Yang jauh dulu  ya  yang diajari. Kalau kemalaman kasihan. Kan  gelap,” jelas Tante Ridwan. Rumahku dan tiga temanku sekitaran 500 meter dari rumah Tante Ridwan jadinya kami selalu mendapat giliran  pas  beduk Isya.

Di tahun 1975-an listrik termasuk barang yang sangat mewah di kampung kami. Jalan di kampung masih tanah, kalau hujan becek dan malam gelap. Ada juga rumah yang baik hati dengan memberikan penerangan dengan lampu minyak tanah di depan rumahnya sehingga menerangi orang yang ada keperluan jalan di malam hari.

Ada lorong yang membuat kami selalu berdebar bila melewatinya di malam hari. Lorong itu lurus memanjang sekitar 200 meter. Kondisinya gelap dan dikiri-kanannya ada pagar yang ada pohon pisangnya.

Suatu waktu, kami bertiga pernah pulang tepat hujan rintik-rintik. Kami awalnya sangat gembira karena dalam dua atau tiga hari lagi kami akan menyelesaikan turutan dan akan masuk belajar membaca Al-Quran.

Awalnya kami berjalan berlahan. Angin kencang yang tiba-tiba bertiup membuat bulu kuduk ku berdiri. Ade dan Bri yang ada di depanku sudah ngeper duluan. Apalagi melihat “bayangan” pohon pisang yang melambai-lambai di tengah temaramnya cahaya bintang gemintang.

Entah siapa yang ngomong duluan, Ade dan Bri tiba-tiba langsung berteriak, “hantuuuuuuu”. Sambil mengambil langkah seribu. Jantungku yang berdetak kencang pun reflek ikut berlari kencang. Baru sekitar 50 meter berlari kencang Ade terjatuh diikuti oleh Bri yang menginjak sarungnya. Aku pun ikut menimpa mereka. Kami pun terjerembab di lorong dan berusaha bangkit secepatnya untuk pulang.

Sampai di ujung lorong. Pakaian dan sarung kami pun kotor semua. Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Akupun menceritakan hantu itu pada emak. Emak hanya menanggapi dingin. “Manusia kok takut sama hantu. Kalau kau beriman justru hantu yang takut dengan kau,” kata Emak sambil mencarikan kaos dan celana untuk menggantikan baju dan celanaku yang kotor.

Keesokan harinya ketika kami kembali mengaji, ternyata Tante Ridwan sudah mengetahui perihal ketakutan kami akan hantu di lorong menuju ke rumahnya. Ternyata emak-emak kami cerita di warung waktu beli sayuran.

“Lucu kalian ini. Hadapi hantu itu. Hantu emang ada,” kata Tante Ridwan. Kami pun diolok oleh teman-teman yang lain. Mereka yang sudah membaca Al-Quran mengatakan, “coba baca ayat Qursy. Tapi kan kalian belum bisa,” kata Tri mengejek.

Terserah dah, pikirku. Paling penting sekarang aku sudah mulai belajar membaca Al-Quran bukan membaca Turutan lagi. Sekitar 6 bulan kemudian kami bertiga pun sudah lancar membaca Al-Quran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun