Cuaca di Palembang memang bikin pengolah laku puasa Ramadhan harus pandai menahan hawa. Semua hawa, mulai hawo nian sampai ke hawa amarah, hawa makan, hawa haus dan hawa syahwat.
Istriku yang baru pulang dari km 32 pulang dengan naik angkutan berpendingin udara. Sampai di rumah sekitar pukul 15.15. “Hadawwww puanas nian” jeritnya sambil meletakkan tas ransel plus beberapa buku dan map di kursi.
Langsung nerotot, “Dikdok –menyebut nama Exel anak bungsuku— mano? Sudah balik kuliah belum? Tadi aku line idakbales-bales. Apopaketnyo abis?” ujarnya.
“Belum,” jawabku sambil terus melototi foto yang aku edit.
Saking capeknya kerja, ketika istriku duduk, tak berapa lama kulihat sudah tertidur. Dengkur halusnya pun keluar.
Tak berapa lama orang yang dicari emaknya pun pulang. Exel membawa makanan berbuka, rujak mie empat bungkus, pempek kecil 30 biji, es buah empat bungkus, dan sekantong kecil kemplang tunu. Ni, anak pasti naik ojek. Padahal tadi aku juga sudah line kalau mau minta jemput bapak bersedia menjemput karena sudah ada di Palembang. “Bantu aku nyiapke untuk buko. Ini la jam empat lewat,” pinta Exel.
“Oke”. Dan berbaurlah kami di dapur yang super mungil. Piring, gelas, mangkok disiapkan. Dua mata kompor pun menyala. Satu memasak air panas, satunya lagi kuali plus minyak panas untuk menggoreng pempek kecil. Sekitar pukul 17.15 segala urusan untuk berbuka selesai.
“Bangunin emak. Sudah sholat Ashar belum? Kataku. Exel pun membangunkan emaknya. Si emak pun langsung mengambil wudhu dan sholat Ashar.
Zhod si sulung juga pulang. Dia pun langsung mendudukkan pantatnya ke kursi. “Puanass nian hari ini. Ampun aku hari ini,” katanya. Exel yang telah menyelesaikan urusan perbukoan langsung nimbrung leyeh-leyeh di kursi.
Sayup-sayup terdengar ceramah dari Musholla Nurul Huda. “Ada tiga amal yang pahalanya tidak akan pernah habis atau putus walaupun orangnya sudah meninggal, amal jairiyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh,” kata si penceramah.
Entah karena kelelahan karena kuliah ditambah harus mencari pesanan bukoan di kawasan kampusnya plus lagi suara yang terdengar sayup, membuat Exel nyeletuk. “Kawan aku Bapaknyo namonyo Soleh. Jadi anaknyo bawa amal jairiyah dak putus-putus yo,” kata Exel sambil njingkrung seperti beruang.
Tiba-tiba emaknyo sudah muncul di depan dua putri kesayangannya. “Daripada njingkrung. Ini buka Al-Quran terjemahan. Bacalah. Ini Indeks Al-Quran. Cari kata sholeh terus lihat dan baca apa kriterianya. Jangan drama Korea terus yang ditonton.” Kedua putrinya pun langsung bangun layaknya orang sit up. Wak wak wak dalam hatiku.
Anak sulungku lantas ngomong, “Itulah Dek kalau sahur itu cukupilah minum manis. Jangan asal nyeletuk. Kau ni hipoglikemia. Kurang gulo jadi kurang konsentrasi. Amal sholeh kau omongke anak Pak Sholeh,” sindir Zhod. Exel yang disindir, cuek saja, sambil menerima Al-Quran terjemahan dari emaknya dan kemudian membolak balik Indeks Al-Quran. Selembar kertas dan penanya pun mencatat dan menelusuri Al-Quran terjemahan mencari makna dan kriteria anak sholeh.
Hi hi hi. Demikianlah drama jelang siang ini. Selamat menunggu berbuka.
Salam Kompasiana
Salam Fiksiana
Salam KOMPAL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H