Keesokan harinya, kami pun mengumpulkan uang untuk menyumbang kakak Hamid. Semester demi semester terus berlanjut. Hingga akhirnya, di semester VIII, Mansyah terlebih dulu ujian skripsi disusul oleh Yono, Ratno, Prastya dan terakhir aku.
Kami pun tak pernah bertemu lagi dengan Hamid. Semua menjalani hidup, berkubang, bertarung untuk hidup menghidupi istri dan anak.
Hingga suatu waktu ketika aku menghantarkan Exel anak bungsuku yang kuliah di Bukit, akupun bertemu dengan Irfan di pinggir jalan di tuntun oleh seseorang. Walaupun kondisinya sudah berubah tetapi chemistry aku dan dia nyambung. Refleks kelebatan masa-masa kuliah pun membayang.
“Dikdok –panggilan sayangku untuk Exel anak bungsuku—berikan ini pada orang yang dituntun itu ya. Sampaikan semoga bisa bermanfaat,” kataku pada Exel sambil memberikan beberapa lembar uang yang kupunya.
Anakku pun langsung berlari dan menghampiri Hamid. Kemudian menggenggamkan uang yang kuberikan pada tangan Hamid. Exel tak banyak tanya padaku dan kemudian langsung kembali naik motor buntutku, lalu menuju warung model.
Ketika kami berdua makan Model Haji Dowa di kawasan Taman Bukit Besar, Exel memberanikan diri bertanya, “bapak kenal dengan wong tadi ye?” tanya Exel. Akupun menjawab, “ia dia dulu yang jualan koran di tempat bapak kuliah”. Exel pun tak mau lagi bertanya. Kami pun menikmati model dengan kuah udang yang maknyusss. “Eh ada duit dak untuk bayar model ini,” tanyaku pada Exel karena seluruh uangku tadi kuberikan pada Irfan. Exel pun ketawa ngakak. “Ado tapi jangan nambah pempek dak cukup duitnyo”. “Kalo duitnyo kurang tinggal telepon emak be kan lagi ngajar di Bukit,” kataku. Exel pun ketawa. “Itulah bapak galak dak mikir kalo ngenjuk wong tu. Emak tu lah jadi bumper”.
Irfan dan Hamid adalah pembuka jalanku dalam menulis. Irfan dan Hamid adalah pengantar warna dalam pikiranku. Terkelebat, waktu itu aku dan dosenku pernah berpolemik artikel soal pemikiran birokrasi Max Weber di harian lokal. Redaksi harian lokal tersebut lalu memberi kesempatan pada kami untuk masing-masing, sama-sama menulis satu artikel sebagai penutup.***esn***
Selamat Ulang Tahun ke-51 Kompas. Ada banyak pelajaran dari artikel-artikel yang berbobot kala itu seperti tulisan Arief Budiman dan Jaya Suprana serta Kwik Kian Gie. Demikian pula ulasan Mas Trias dari dulu sampai sekarang soal politik keren. Dan banyak tulisan lainnya. Kompas minggu biasanya dibaca berulang kali sampai lecek.
Catatan, nama teman sengaja diubah demikian pula dengan pengantar koran yang aku lupa namanya, tetapi tidak mengubah esensi. Dua loper koran itu nyata.
Salam Kompasiana
Salam Fiksiana