Untuk Lahat: Revolusi Pangan itu Dimulai dari Marga Mulya
"Kami ini petani. Kami bangga menjadi petani karena kami memiliki tugas yang berat untuk menyediakan pangan bagi masyarakat banyak," kata Suwardi, petani pelopor di Desa Marga Mulya Kecamatan Kikim Timur. Pernyataan Suwardi ini disambut oleh tepuk tangan ratusan masyarakat baik ibu-ibu dan bapak-bapak yang hadir di halaman rumah warga.
Pernyataan itu juga membuat Bupati Lahat, H Saifudin Aswari Riva'i terhenyak. Demikian pula dengan kepala dinas terkait yang ikut serta dalam rombongan ke Desa Marga Mulya. Revolusi pangan sepertinya sudah dimulai.
Para petani ini memberikan penjelasan mengenai pertanian organik kepada Bupati atau lebih akrab dipanggil Wari ini dengan spontan. Mulai, dari proses pengolahan tanah, pembuatan pupuk, pembibitan padi hingga ke proses tanam dan pemeliharaannya. Kemudian juga pada proses panennya. Semua dijelaskan dengan gaya petani. Lugas polos tanpa tedeng aling-aling.
Wari pun mendengarkan dengan seksama. Apalagi ketika meninjau tenda yang berisi bahan pangan yang ditanam dengan menggunakan metode organik. Beras, selada air, bayam, kangkung dan semangka. Semuanya segar. "Ini semua ditanam, dipelihara dan dipanen tanpa menggunakan pestisida. Semuanya organik. Pupuk organik yang dibuat sendiri. Jadi kami ini boleh dikatakan tanam sendiri, dan panen sendiri dengan pemeliharaannya menggunakan sumber-sumber daya alam yang ada. Mulai dari kotoran sapi, sampai ke tanaman bekas," kata Suwardi.
Beberapa orang dari PT Medco Energi yang menjadi tenaga pendamping selama hampir setahun ini cuma terlihat senyum-senyum. Mereka patut bangga karena awalnya petani yang ikut dalam program pertanian organik ini hanya belasan dan setelah melihat hasilnya yang lumayan besar dari sisi produksi dan uang yang dihasilkan petani yang ikut pun kini hampir 100 orang.
Wari sekitar April tahun 2013, mendatangi Marga Mulya untuk penanaman perdana padi menggunakan sistem pertanian organik. Bahkan pada waktu itu Wari ikut serta menanam di sawah. Warga yang ikut hanya belasan. Ternyata setelah panen padi dan hasilnya per hektar bisa mencapai 6,4 ton per hektar dan harga jual yang lebih mahal membuat warga yang ikut serta menjadi makin banyak. Bila dengan sistem konvensional, hasilnya hanya sekitar 3,4 ton per hektar.
"Kalau dulu Pak Wari tidak datang mungkin kami tak terpercaya sama sekali. Awalnya percaya sedikit. Kemudian sekarang jadi percaya 100 persen kalau pertanian organik lebih baik dan lebih bisa meningkatkan produksi dan biaya produksinya juga murah," kata Yanto, petani yang ikut serta setelah melihat rekannya sesama petani sukses dengan pertanian organik.
[caption id="attachment_332930" align="aligncenter" width="300" caption="Padi Organik hhhhhmmmmm"][/caption]
[caption id="attachment_332933" align="aligncenter" width="300" caption="Selada seeeguueeerrr"]
Butuh Kotoran Sapi
Satu hal yang mungkin bisa membuat orang awam tertawa adalah, para petani ini melapor kepada Wari kalau mereka kekurangan kotoran sapi. "Kami kekurangan kotoran sapi yang menjadi bahan dasar kompos. Tolong Pak Wari dicarikan jalan keluarnya. Kami di sini, cari-cari kotoran sapi karena jumlahnya sedikit ya cepat habis karena jadi rebutan," kata Suwardi yang langsung disambut tawa semua yang hadir.