Dalam pembelaannya Setia Novanto (64), terpidana korupsi el KTP membuat puisi (merdeka.com) mengenai dirinya  dengan judul "Di Kolong Meja":
Di kolong meja tersimpan cerita
seorang anak manusia menggapai hidup
gigih dari hari ke hari
meraih ilmu dalam keterbatasan
untuk cita-cita kelak yang bukan semu
tanpa lelah dan malu
bersama debu menghirup udara kelabu
Di kolong meja muncul cerita sukses anak manusia yang semula bersahaja
akhirnya bisa diikuti siapa saja
karena cerdas caranya bekerja
Ia mengungkapkan dengan penuh haru, bahkan menangis, riwayat hidupnya yang merangkak dari bawah. Ia adalah anak kelima dari 8 saudara. Orangtuanya bercerai sehingga SN pindah dari Surabaya ke Jakarta. Ia meneruskan kuliah di fakultas ekonomi -- akuntansi di Surabaya dan untuk bisa membiayai kuliahnya, ia menjadi sopir tempat kos.Â
Karakternya yang ulet, tidak mengenal malu membawa ia menjadi tukang cuci mobil di sebuah delaer mobil di Surabaya. Kariernya meningkat menjadi tenaga penjual sampai menjadi kepala penjualan wilayah Indonesia Timur.
Kemudian ia kembali ke Jakarta menyambung hidup dengan berbagai bisnis sampai ia berhasil menjadi sarjana penuh di ibukota. Sebut saja berbagai usaha yang pernah ditekuninya : perternakan, pengadaan bahan baku tekstil, kertas, kontraktor bangunan, industri pabrik kayu, transportasi, perdagangan, SPBU, lapangan golf bertaraf internasional, dan bisnis hotel.
Ia mengakui Sudwikatmono menjadi pembina usaha, Hayono Isman sebagai pembina politik dan Wismoyo Arismunandar sebagai pemberi wawasan untuk berjuang demi negara (detik.com). Kemudian SN berhasil mendekat ke Cendana.
Sisanya adalah sejarah sukses seorang yang ulet dan bermotivsi untuk terus maju. Apabila SN membukukan kisah hidupnya itu maka pembaca akan menaruh simpati yang besar atas keuletannya. Ia bisa beralih dari bisnis ke politik tentu menunjukkan sikap terus belajar yang tinggi. Jaringan yang berhasil dimasukinya tentu juga luar biasa. SN juga dikenal pandai dalam menghindari berbagai tuduhan kasus yang menimpanya di jaman Orba sampai jaman Reformasi.
Kemudian baru di kasus KTP-el, SN tidak bisa menyelamatkan dirinya. Mungkin ia sudah ditinggalkan oleh jaringan politik yang berhasil dibangunnya di partai Golkar. Kemungkinan yang tidak bisa dielakkan adalah kasus korupsi KTP --el itu sesungguhnya suatu kasus raksasa. KPK bilang kasus itu merugikan negara sampai Rp2,3 trilyun.
Kasus yang besar itu tentu tidak dilakukan oleh satu orang SN saja. Tidak mengherankan apabila dalam puisinya SN menyinggung mereka yang diduganya belum disentuh oleh hukum. SN pertaman-tama menyindir para penegak hukum yang diibaratkan sebagai "pembantu" sebagai "pura-pura tidak tahu ada debu yang belum tersapu." Siapa yang menjadi "biangnya debu sengaja tidak disapu."
Teman, rekan atau entah siapa disebutnya sebagai "pecundang" yang berseumbynyi sembari cuci tangan, cuci kaki, cuci muka, cuci warisan kesalahan. Malahan SN menulis dengan nada keras mereka sebagai "banci" yang tega melihat teman sebagai korban.