Langkah kaki Reni terayun anggun berjalan melewati depan bengkel Pak Slamet. “Ren, pulang sekolah?” Sapa Bayu karyawan bengkel Pak Slamet. “Iya,” jawab Reni tanpa menoleh malah menunduk. Reni yang merupakan siswi SMA kelas XI itu memang punya paras yang cantik. Wajar saja karyawan bengkel Pak Slamet yang masih pada bujangan selalu tidak luput pandangan saat Reni lewat.
Tidak jauh rumah Reni dengan sekolahnya, ditempuh dengan berjalan kaki saja hanya 15 menit. Reni yang saat itu tengah dirundung perasaan yang tidak karuan menjadi semakin pendiam orangnya. Gadis berkacamata itu terbiasa dengan didikan keluarga yang otoriter tertutup. Semua kehendak orang tua Reni selalu ia ikuti dengan segenap kemampuannya. Reni terbiasa tepat waktu untuk apa yang dilakukannya.
Bapaknya Reni yang tengah menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMP seberang jalan SMA Reni itu tidak suka dibantah oleh anaknya. Setiap hari kegiatan Reni sangat dibatasi jam. Sering kali Reni mencocokkan jam tangan dengan jam dinding di rumahnya. Ibunya Reni yang sedang menempuh S2 sering pergi ke luar kota. Reni sangat dibatasi untuk berteman, pernah sekali waktu Reni pergi main sama teman-temannya dan pulang sehabis Maghrib. Bapaknya sudah menjadi satpam dadakan berjaga di depan rumahnya. Reni disuruh berdiri merapat tembok, gelas pun melayang tepat di samping kepala Reni menghantam tembok dan pecah berserakan.
Reni yang saat itu basah kuyup karena teh yang disajikan oleh Ibunya Reni untuk suaminya mengguyur badan Reni. Wadah tehnya hancur, tehnya menghujam sebagian muka Reni, Reni menangis sejadi-jadinya. Reni tidak berani menatap Bapaknya, laki-laki berkumis tebal dan sangar itu langsung masuk ke rumah meninggalkan Reni di luar.
Semua itu menjadikan Reni takut untuk bermain-main dengan batasan waktu yang diberikan Bapaknya. Bagi Reni waktu bukan uang, waktu adalah jam. Bapaknya Reni memang belum pernah melakukan tindakan dengan anggota badannya kepada anak sulungnya itu. Gelas yang pecah itu biar menjadi peringatan, gelas saja pecah menghantam tembok. Bagaimana jika gelas itu mendarat di kepala Reni, itu maksud dari Bapaknya.
“Ren, pulang sekolah jajan baso yuk,” ajak Risa sahabat Reni dari kecil. Risa seumuran Reni, anaknya ramah ke semua orang. Reni-Risa juga sering dikatakan sudah kaya anak kembar, sering beli barang yang sama juga. Kedua orang tuanya sudah berpisah dan Risa tinggal bersama nenek dari Bapaknya. Ibunya Risa semenjak berpisah dengan suaminya memutuskan menjadi tenaga kerja di luar negeri. Stok uang jajan Risa tidak pernah surut, Risa juga sering mentraktir teman-temannya termasuk Reni. “Yuk, udah lama gak jajan baso,” Reni mengiyakan ajakan Risa.
“Ren, saya lagi dekat sama kakak kelas loh,” sambil mengunyah baso, Risa membuka obrolan. “Siapa tu Ris? Tanya Reni sambil mengambil botol kecap. Risa sedang dimabuk asmara layaknya kebanyakan remaja SMA yang mulai bermain panah asmara. Risa ditaksir kakak kelasnya yang suka nongkrong di vape store samping bengkel yang Reni sering lewati. Brian memang terkenal anak kekinian, seusia anak SMA semua yang melekat di badannya modis dan branded. Brian adalah anak juragan pemilik salah satu tampat pengepul minyak pasti pas. Dia memang pintar dan tampan menurut apa yang dipunya. Jago main bolanya juga, sekolah saja cuma diinventarisi motor butut 250cc produk dari Kawasaki.
Berbeda dengan Risa, Brian anaknya cuek. Teman saja hanya beberapa tergantung seleranya. Di sekolahnya, Brian tidak begitu didekati karena teman-temannya sadar diri beda jalur lintasan gaya hidup dengan Brian. Tidak seimbang mesin 100cc bersanding duel dengan mesin 250cc dilintasan balap. Tinggal menunggu rontoknya mesin 100cc atau semakin jauh melesat laju mesin 250cc.
Kebingungan Reni semakin hari semakin membebani. Rahasia sudah menjadi umum, itu artinya semua nampak tidak tahu tapi sebenarnya cuma kurang etis saja untuk dibicarakan. Semua manusia suka diberi pujian, kebanyakan lebih memilih diapresiasi walaupun dengan kebohongan daripada dievaluasi dengan kejujuran. Singkatnya apresiasi berpotensi membunuh, evaluasi berpotensi memupuk.
Berawal dari waktu itu, ketika Reni pulang ke rumah. Seperti biasa dengan berjalan kaki dan digodai manusia berlumur oli. Reni dengan terburu-buru berjalan kaki, tidak merespon godaan para serdadu bujangan Pak Slamet. Dia lupa kalau ada tugas sekolah yang harus disetor besok, makanya mau dikebut biar malamnya bisa tidur tidak larut. Klek! Klek! Tergesa Reni membuka pintu rumahnya, kebetulan hari itu Ibunya berangkat ke luar kota. Sepeda motor BM KZ200 Bapaknya sudah parkir di halaman rumah, mobil Babaknya tidak ada di garasi menandakan Bapaknya sedang ada urusan di luar.
Kondisi langit sedang murung, gelap tapi belum mau menangis. Gemericik suara air kran dari bak kamar mandi di kamar Reni yang tadi pagi lupa ditutup rapat. “Astaghfirullah, Risa!” Reni terkejut mendapati Risa bersama tisu yang berserakan di lantai kamarnya. Risa memang tidak masuk sekolah tanpa keterangan hari itu. “Reni…” Risa memeluk Reni sambil menangis tersedu-sedu. Setelah Reni menenangkan Risa, Risa menceritakan semuanya termasuk bisa masuk ke kamarnya melalui pintu belakang rumahnya yang tidak dikunci. Risa adalah korban dari remaja yang kurang asupan tata krama dari orang tuanya.
“Terus gimana sekarang Ris?” Reni bertanya pelan. “Gak tau, saya gak tau Ren,” Risa memeluk kembali Reni. Brian yang mengajak Risa menjalin kerja sama di sebuah villa untuk menanam bibit di kebun Risa itu sukses. Waktu bibit itu sudah tumbuh dan berumur tiga bulan, pemilik kebun meminta pertimbangan untuk kelanjutan status bibit itu karena ditanam dengan sistim kerjasama. Brian sangat takut karena belum pernah sama sekali menanam bibit yang pada akhirnya benar-benar mau tumbuh.
Brian yang sudah melakukan studi banding ke berbagai tempat akhirnya melayangkan intruksi kepada Risa sebagai pemilik kebun. Risa disuruh mentralkan kembali kebunnya dari bibit yang pernah ditanam Brian, Brian beralibi kita belum saatnya merawat bibit ini. Bibit ini terlalu dini tumbuhnya, bisa menimbulkan perdebatan para ahli.
Berdasarkan ilmu yang didapat Brian selama studi banding, akhirnya bibit bisa dinetralisir secara paksa dari kebun Risa. Risa menuntut untuk ganti rugi karena kebunnya sudah diacak-acak untuk bibit tanaman yang digagalkan untuk tumbuh. Risa memberanikan diri menyampaikan itu ke Ayahanda Brian.Responnya sangat tidak masuk akal, sangat membuat hati seorang pemilik kebun yang kebunnya diacak-acak kecewa. “Kalian kan menjalin kerjasama, ya sudah kalau sudah diakhiri kerjasamanya,” kata Ayahanda Brian dengan enteng.
Memang suka begitu sikap orang yang sudah bisa menyelenggarakan anaknya mandi uang. Suka sewenang-wenang sama anak orang yang setiap hari mandi keringat. Mentang-mentang juragan minyak, bisa nimbun banyak terus naikin harga dengan enak. Jelas enak, kalau sudah dilindungi dengan payung lapis baja anti saingan. Pasti pas sudah saatnya diubah menjadi pasti naik.
Semua itu sudah terjadi, bibit yang harusnya tumbuh harus dipaksa binasa. Risa merasa berdosa sekali dengan itu semua. Mendegar cerita Risa, sejak saat itu pun Reni sangat merasa bersalah kepada sahabat baiknya. Reni merasa menjadi sahabat yang gagal, tidak mampu memberikan petunjuk ke arah mata angin yang benar. Reni memang mengetahui Brian sering membonceng perempuan ke tongkrongannya di vape store. Reni enggan memberi tahu Risa karena dia tidak mau membuat sahabatnya kecewa. Risa sudah pasrah dengan apa yang terjadi dengan kebunnya. Dari cerita Risa waktu itu di kamarnya, membuat Reni membayangkan sosok laki-laki berkumis tebal, Bapaknya. “Mungkin ini arti dari semua itu,” kata Reni dalam hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H