Mohon tunggu...
Dwi Kurnia Wibowo
Dwi Kurnia Wibowo Mohon Tunggu... Freelancer - Laki-laki

Lahir di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tumbal Kehidupan

3 September 2020   07:13 Diperbarui: 3 September 2020   13:12 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak Roni meminta izin kepada keluarga besar untuk menjual rumah warisan Bapaknya itu tidak ada satu pun yang setuju. Akan tetapi racun yang sudah ditanam di pikiran Roni oleh Edo sangat kuat hingga menyerang inti cerebellum pada otak Roni. Lumpuh total kerja nalar otak Roni waktu itu, Edo sangat dipuja bak dewa untuk segala gagasannya. 

Roni yang memikirkan masa depan memang sangat gelap mata, karena masih punya buntut tiga ekor yang masih mungil. Pikirnya jika benar apa yang dikatakan Edo, sebagai seorang buruh serabutan akan merasa tenang di masa tuanya. Jika buntut-buntutnya nanti tumbuh, sudah ada biaya untuk merawatnya agar tetap bergibas-gibas di pergaulan bersama teman-temannya nanti.

"Saya tidak mau tahu, saya mau uang saya kembali!" Pagi itu di kantor kelurahan, Roni sudah manggung di ruang tamu. Pak Lurah dan Pak Sekdes masih bingung gimana caranya kedua orang yang bergulat omong ini bisa duduk dulu, sambil nikmatin kopi yang masih ngebul. Mbah Kun yang sudah memberikan briefing kepada Roni sebelum pertemuan itu pun tampak tenang duduk sambal gela-gelo melihat dua orang ngotot beradu omong. Tak sepatah kata pun terucap, Mbah Kun lebih memilih menyeruput kopi saja.

Pak Sekdes hanya bisa membantu mengetik surat perjanjian baru untuk pengembalian uang Roni. Pak Lurah tidak banyak berperan karena dulu waktu akad jual-beli lahan sawit saja belum menjabat sebagai Lurah. Kopi yang di cangkir-cangkir yang hampir habis akhirnya disruput secara barasama-sama sebagai akhir perdebatan sengit di kantor kelurahan pagi itu. Roni hanya bisa yakin apa yang sudah dikatakan Edo dan diketik Pak Sekdes akan ditepati.

Roni sudah berlumur malu, dengan keluarga dan dengan warga di kampung. Percaya dengan Edo yang tidak bisa diyakini kebenaran janji-janjinya. Tidak ada kata lain selain maaf kepada keluarga besarnya. Roni bertekuk lutut meminta ampun seperti tahanan perang agar tidak dibinasakan karena merasa tertawan rasa bersalah kepada keluarga besarnya. Terutama Ibu kandungnya yang sangat menyayangkan langkah Roni dulu terlampau berani.

"Tenang saja kamu pasti menang Ron" kata Mbah Kun. Perjanjian pagi kemarin isinya memang membolehkan Roni untuk tinggal di rumahnya Edo sebelum uangnya dikembalikan. Sedangkan Edo yang tadinya pulang ke kampung hanya untuk menyaksikan Bapaknya dimakamkan itu langsung kembali ke Pulau Borneo. Edo tidak tahu Roni bakal senekat itu menggugat uangnya kembali utuh. Dulu pernah mentransfer uang ke Roni dengan alibi hasil panen bulan pertama. Tujuan Edo adalah mengamankan diri dari jeratan hukum perdata.

Roni menempati rumah Edo tapi dengan perasaan yang tidak sepenuhnya puas. Rumah Edo itu masih atas nama Bapaknya yang sudah meninggal. Sedangkan status hak waris saja masih belum jelas jatuh ke siapa karena Edo lima bersaudara. Keempat adik kandungnya juga dikibuli membeli lahan sawit. Tantu semua adik kandungnya akan menggugat jika rumah Bapaknya jatuh hak waris ke Edo supaya dijual dan buat dibagi-bagi bayar hutangnya.

"Tidak masalah ini dibayari saja, lumayan kamu dapat rumah besar. Nanti Roni juga otomatis pergi dari sini kalau sudah kamu balikin uangnya. Kamu kasih lebih sedikit aja biar Roni gak rewel," Mbah Kun tegas ngomong ke Edi adik kandung Edo yang paling tua. "Iya Mbah nanti saya usahakan kalau bisa," jawab Edi. Saat ketemu Roni di jalan, Mbah Kun bilang mau ibadah menolong Roni, tidak mau sepeser pun kalau uangnya kembali. "Tenang Ron, uang kamu pasti balik seperti dulu jumlahnya, saya carikan pembeli rumah kalau Edo tidak balik sebulan lagi." Mbah Kun bicara dengan santai. "Iya Mbah," Roni cuma bisa jawab tidak lebih dari itu kepada Mbah Kun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun