Pengaruh terbesar dari pergeseran dunia kita jaman sekarang tentu saja dipengaruhi oleh teknologi. Baru 20 tahun yang lalu internet menjadi bagian dari hidup kita, tetapi sekarang kita telah hidup beririsan dengan internet dan teknologi[1]. Banyaknya perubahan-perubahan yang ditimbulkan dari fisik ke digital ini mengakibatkan perubahan-perubahan yang tidak terprediksikan sebelumnya. Kecepatan teknologi dan informasi bukan saja sekedar mempengaruhi gaya hidup dan perkembangan ekonomi tetapi juga sangat mempengaruhi bidang pendidikan. Mau tak mau teknologi dan pendidikan harus berjalan (bahkan berlari) berbarengan. Pendidikan dan teknologi tidak dapat lagi dipisahkan. Seperti pedang bermata dua, di satu sisi teknologi dapat membantu pendidikan tapi di sisi lain teknologi mengakibatkan hal-hal yang tidak baik terutama dalam hal pewarisan nilai- nilai dan karakter.
Perkembangan teknologi digital yang sangat cepat ini menimbulkan disrupsi dan ketidaknyamanan dalam beberapa bidang di dunia pendidikan seperti munculnya budaya-budaya baru[2], yaitu:
budaya cepat (instan culture): mengusung kecepatan dan keefesiensian namun kurang berempati.
budaya layar (screen culture): interaksi di depan monitor namun minim 'reality relationship'.
budaya informasi (information culture): menghabiskan waktu lebih banyak untuk membuka internet, danÂ
budaya komunikasi (communication culture): berelasi secara virtual dan artificial.
Bill Gates mengatakan, "technologi is just a tool. In terms of getting the kids working together and motivating them, the teacher is the most important." Oleh karena itu, peranan guru dalam sekolah terutama pendidikan kristen sangatlah penting. Pendidik Kristen harus dapat melihat bagaimana titik awal perubahan ini dimulai dan ikut menyikapinya dengan tetap berjalan dalam kerangka metanarasi Alkitab. Selain itu, juga harus dapat mengenali disrupsi teknologi secara umum dan mengambil peran ikut berbagian dalam pengembangan ciptaan Allah di masa depan[3].Â
Pendidikan Kristen
Kita harus kembali memahami bahwa tujuan awal dari pendidikan Kristen adalah untuk membantu dan mengajak murid-murid untuk menyembah Tuhan serta membantu anak-anak belajar bagaimana untuk hidup harmonis dengan Tuhan, sesama, lingkungan dan diri sendiri. Untuk mencapai tujuan ini, sekolah dapat berperan sebagai transmisi budaya parenting school dalam mendidik para murid dalam kasih Tuhan sehingga Injil dapat terus diberitakan di tengah-tengah era digital ini.
Pendidikan Kristen dapat menyediakan lingkungan pendidikan yang memelihara iman, yang mempromosikan siswa bertalenta, dan masih tetap mempertahankan Kristen yang otentik dengan menjadikannya sebagai pendidikan yang benar-benar Kristen. Maka yang sering dipertanyakan adalah apakah pendidikan Kristen yang ada sekarang sudah benar-benar Kristen? Apakah sudah otentik baik di dalam maupun di luar kelas?
Menurut Jonathan Heath, ciri khusus dimana pendidikan Kristen memang benar-benar Kristen, yaitu:
Adanya filosofi pendidikan Kristen, dengan fokus utama dari pendidikan Kristen adalah Tuhan, concern terhadap hal-hal yang kekal dan dipandu oleh bimbingan Roh Kudus. Perbedaan khas ini dapat tercermin dalam lingkungan masyarakat sekitar, di dalam kelas, dan dari kurikulum.
Adanya engaging curriculum, dimana kurikulum melibatkan semua murid, membantu murid berkembang, mengungkapkan kebenaran Allah, fokus untuk menyembah Tuhan dan adanya interagrasi Alkitab pada semua bidang.
Guru
Guru merupakan seseorang yang pekerjaannya adalah mengajar. Namun dalam pendidikan Kristen (Sekolah Kristen), tugas guru lebih dari sekedar mengajar saja. Guru haruslah orang-orang yang berkomitmen menjadi pengikut Kristus (sebelum membantu murid-muridnya juga  menjadi pengikut Kristus) yang mengajarkan dan memimpim dari sudut pandang alkitabiah yang terintegrasi. Maka seorang guru haruslah (a) mengikuti model Kristus dalam setiap pengajaran dan bimbingan, (b) mencerminkan dan mendukung misi sekolah dan nilai-nilai intinya dan (c) mengerti dan berpusat pada pencapaian visi sekolah dan hasil-hasil yang diharapkan[4].Â
Guru seringkali dimetaforakan sebagai gembala, mentor, pelatih dan konselor. Guru membimbing murid-murid mengembangkan talenta mereka untuk memenuhi panggilan hidup mereka, menjadi murid-murid Kristus yang kompeten, penuh penilaian dan responsif.Â
Murid merupakan orang yang diajar atau yang dididik oleh guru. Dalam Alegory yang disampaikan Tuhan Yesus dalam Lukas 14:12-14[5] proses invitasi belajar mereka berisi suatu perintah yaitu mengundang mereka yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu ke pestanya.Â
Brummelen (2011:216)[6] mengatakan bahwa tiap murid adalah manusia yang diciptakan Allah dalam gambar dan rupa-Nya, mereka diberi talenta unik. Semua murid mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya ketika mereka menggunakan talentanya masing-masing.Â
Namun guru berasal dari generasi yang berbeda dengan murid sehingga menimbulkan adanya gap generasi. Baik generasi guru maupun generasi murid masing-masing memiliki bahasa, nilai dan pandangan hidup yang berbeda yang terbentuk dari kondisi sosial, ekonomi dan politik pada saat mereka lahir dan berkembang. Seringkali timbul permasalahan akibat gap generasi ini seperti penggunaan teknologi, metode mengajar, pendekatan pedagogi, dll.Â
Seperti Yesus yang berinkarnasi menjadi manusia dan mati di kayu salib sehingga dapat menyelamatkan manusia dari hukuman kekal akibat dosa, guru pun harus dapat flexible dan resilient menghadapi generasi murid yang dididiknya. Gurulah yang harus menyesuaikan diri dengan murid.
Daftar Pustaka
Agus Susanto, Ph.D. dan Amy Iwani, Ph.D. "Digitalisasi Dunia Pendidikan." STT Bandung, t.t.
Alkitab. Terjemahan Baru. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2001.
Egeler Ed.D, Daniel J. Membangun di Atas Dasar-Dasar: Elemen-elemen Esensi dari Sebuah Sekolah Kristen yang Efektif. Colorado Springs: Purposeful Design Publication A division of ACSI, 2011.
Freddy Nababan. "VUCA dalam Pendidikan." Analisa Daily, 2018. content://com.whatsapp.provider.media/item/3fb8d6a8-21e7-4555-ab75-c66d55f7c7c0.
Harro van Brummelen. Berjalan Bersama Tuhan di Dalam Kelas. Edisi Ketiga. Surabaya: Purposeful Design Publication A division of ACSI, 2011.
S. Wonohadidjojo Ed.D., Ishak. "Current Trends in Education." ACSI, 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H