Mohon tunggu...
OSTI  LAMANEPA
OSTI LAMANEPA Mohon Tunggu... Mahasiswa - DEO GRATIA (RAHMAT ALLAH)

MAHASISWA FILSAFAT DAN TEOLOGI

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Misi Imam Dominikan dalam Pewartaan Injil di Larantuka dan Solor: Pertemuan Agama Katolik dan Kepercayaan Lokal

18 Mei 2022   15:37 Diperbarui: 18 Mei 2022   15:42 1475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Ostianus Ola Lamanepa, Mahasiswa Filsafat-Teologi Widya Sasana Malang.

I. Pengantar

              Pada tahun 1515, terjadi suatu era baru yakni lahirnya Gereja Asia. Gereja Asia khususnya wilayah Indonesia yakni daerah Larantuka dan Solor sangat beruntung karena penyebaran agama Katolik yang dilakukan oleh para Imam Dominikan asal Portugis. Para Imam Dominikan asal Portugis ini berlayar bersama kapal Portugis pergi ke wilayah timur jauh yakni daerah Asia yang saat itu dinobatkan sebagai penghasil rempah-rempah terbanyak. Tujuan pertama bangsa Portugis adalah mencari rempah-rempah. Namun di dalam kapal tersebut ada beberapa Imam Dominikan yang turut berlayar bersama mereka. Di sinilah awal mula penyebaran agama Katolik di wilayah Asia yakni wilayah Indonesia khususnya wilayah Larantuka dan Solor. Fokus tulisan ini yakni penulis menampilkan dan menjabarkan perkembangan Gereja Asia khususnya Gereja Indonesia yakni Gereja Larantuka dan Solor. Pada bagian pertama penulis menampilkan misi pewartaan Injil Imam Dominikan dan sejarah terbentuknya Gereja Larantuka dan Solor, serta tanggapan Umat Larantuka dan Solor atas agama baru yakni agama Katolik. Pada bagian kedua penulis menampilkan pembentukan Gereja Larantuka dan Solor oleh Imam Dominikan asal Portugis. Pada bagian penutup penulis ingin menampilkan pengaruh Quietisme dan berbagai problem-problem yang di temukan antara pertemuan agama Kristiani dan kepercayaan lokal Rera Wulan/Lera Wulan serta melihat relevansinya dengan kehidupan Gereja saat ini.

II. Pembahasan

2.1. Misi Pewartaan Injil Allah Oleh Imam Dominikan asal Portugis di Asia khususnya di Indonesia

        Salah satu makna keberadaan Gereja yakni Gereja adalah saksi Yesus Kristus[1]. Gereja hidup dan menunaikan misinya dalam situasi-situasi nyata dalam waktu dan ruang. Kesadaran kritis akan pelbagai kenyataan yang kompleks di Asia sangat diperlukan, supaya umat Allah di berbagai benua harus menanggapi kehendak Allah bagi mereka dalam evangelisasi baru[2]. Asia merupakan benua yang terluas di bumi, dan dihuni oleh hampir duapertiga penduduk dunia. Di benua Asia inilah lahir agama-agama besar dunia yakni Yudaisme, agama Kristiani, Islam dan Hinduisme. Di benua ini lahir pula banyak tradisi-tradisi rohani lainnya seperti Buddhisme, Taoisme, Konfusianisme, Zoroastrianisme, Jainisme, Sikhisme dan Shintoisme. Di benua Asia ini juga terdapat jutaan agama-agama tradisional atau suku-suku, pada tingkatan ajaran religius ritual dan formal yang terstrukturkan. 

           Gereja lahir dari pewartaan Para Rasul tentang Kristus yang mereka lihat dan saksikan secara langsung. Kehadiran mereka bersama Yesus inilah, yang mendorong para Rasul dengan berani mewartakan Yesus yang bangkit kepada semua bangsa. Misi pewartaan Injil Allah ini pun berlanjut dari generasi-kegenerasi. Para imam Dominikan asal Portugis pun berlayar mengikuti kapal dagang portugis mencari daerah di timur jauh yakni wilayah Indonesia yang merupakan penghasil rempah-rempah terbesar. Para imam Dominikan asal Portugis ini pun tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Maluku, Ternate, Tidore, Alor, Timor, Kupang, Maumere bahkan daerah larantuka dan Solor tidak luput dari perhatian mereka. Di sinilah benih-benih Kristiani mulai muncul dalam masyarakat NTT khususnya daerah Larantuka dan Solor.

2.2. Pembentukan Gereja Larantuka dan Solor

            Menurut Catatan sejarah, umat Flores tahu akan agama khatolik itu datangnya pedagang portugis yang tinggal di Solor, pulau kecil di depan Larantuka. Mula-mula berdagang, cari rempah2 di sekitar. Dengan bergulirnya waktu akhirnya mereka punya rumah sederhana untuk berteduh. Orang portugis ini mula berdoa ala khtolik di sana. Dan pada tahun 1561 empat pater Ordo Dominikan di kirim dari Malaka ke solor[3]. Empat pater itu menetap di Solor. Selain melayani pedagang-pedagang Portugis, para misionaris itu mewartakan Injil ke penduduk lokal. Kehadiran orang asing, agama baru, tidak diterima begitu saja. Terjadi sejumlah perlawanan berdarah-darah. Untuk melindungi diri dari serangan penduduk lokal, pada 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun benteng di Lohayong, Kecamatan Solor Timur sekarang[4]. Penyebaran agama Katolik di Kepulauan Solor [sekarang Kabupaten Flores Timur] sukses besar. Berdasar catatan Mark Schellekens dan Greg Wyncoll, penulis dan fotografer yang baru saja melakukan reportase di Solor, di dalam banteng itu dibangun asrama, gereja, dan fasilitas lain.

            Bahkan, sebuah seminari dibikin di dalam Benteng Lohayong tersebut. Pada tahun 1600 sedikitnya ada 50 siswa [seminaris] yang belajar mempersiapkan diri sebagai rohaniwan Katolik. Beta bisa pastikan inilah seminari Katolik pertama di Indonesia. Ada gereja bernama Nossa Senhora da Piedade. Beberapa tahun kemudian dibangun Gereja So Joo Baptista. Singkat cerita, hingga 1599 misionaris perintis ini berhasil mendirikan 18 gereja di Solor dan sekitarnya. Namun, kekuasaan Portugis tidak bertahan lama. Pada 27 Januari 1613 sebuah armada Belanda datang ke Solor. Kapten Manuel Alvares mengerahkan 30 orang Portugis serta seribu penduduk lokal untuk mempertahankan benteng di Lohayong. Portugis ternyata kalah setelah berperang tiga bulan. Pada 18 April 1613 benteng itu jatuh ke tangan Belanda. Kompeni-kompeni Londo ini mengganti nama benteng menjadi Benteng Henricus. Solor waktu itu rupanya sangat menggiurkan. Tahun 1615 Belanda meninggalkan Lohayong [ibukota Solor], tapi datang lagi tiga tahun kemudian. Entah kenapa, Belanda melepaskan benteng pada 1629-30, dan segera diisi kembali oleh Portugis hingga 1646 ketika diusir lagi oleh Belanda. Portugis ternyata selalu kalah dengan Belanda meski jumlah pasukannya lebih banyak. Portugis juga cenderung pengecut lah! Tentu saja, perang terus-menerus antara sesama penjajah ini membuat kekatolikan yang masih sangat muda tidak berkembang. Berantakan. Melihat suasana yang tidak kondusif meminjam bahasanya polisi sekarang pater-pater Dominikan memindahkan markasnya ke Larantuka.

             Tahun 1577 saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores. Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik. Kota Larantuka juga berkembang sebagai kota pelabuhan yang penting. Karena penduduknya didominasi warga Melayu Katolik pelarian dari Malaka, maka bahasa sehari-hari alias lingua franca pun bahasa Melayu. Hanya saja, bahasa Melayu Larantuka ini sudah tercampur bahasa Lamaholot [bahasa asli di Flores Timur] serta istilah-istilah Portugis. Orang Larantuka kemudian dikenal sebagai penjaga tradisi Katolik-Portugis sampai hari ini. Setiap Jumat Agung penduduk Larantuka mengadakan perarakan keliling kota sepanjang malam yang disebut Semana Santa. Padahal, konon, di Portugis sendiri tradisi abad ke-16 ini sudah tidak ada lagi. Apalagi, orang Portugis seperti orang Eropa umumnya, makin sekuler dan nyaris tidak berminat lagi pada agama. Bangsa Portugis yang membawa ajaran agama itu ke Larantuka dan Solor pada abad ke-16.

              Semula, Portugis hanya singgah ke Larantuka untuk transit dalam pelayaran dari Malaka menuju pusat rempah-rempah di Maluku. Ternyata, di Larantuka dan Solor banyak terdapat komoditi yang laku dijual di Eropa, salah satunya adalah cendana. Maka, kemudian Portugis membangun koloni di kawasan ini, sekaligus untuk menyebarkan agama Katolik. Agama Katolik yang semula di siarkan oleh kaum misionaris Portugis sebenarnya sudah cukup lama masuk ke wilayah Timor[5]. Huub J. W. M. Boelaars (2005:69) dalam buku Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia bahkan mencatat bahwa pada 1606, jumlah umat Katolik di kepulauan itu sudah mencapai 50 ribu orang. Tidak sulit bagi Portugis untuk mengambil hati orang-orang Larantuka, termasuk para pembesar kerajaannya. Raja-raja yang memerintah di Larantuka pun menyandang gelar bernuansa Portugis. Mereka dibaptis menggunakan nama Katolik dan memakai marga Diaz Viera de Godinho (DVG) beserta gelar Don, di samping gelar atau nama asli. Raja Katolik-Portugis pertama di Larantuka adalah Ola Adobala bergelar Don Francisco DVG (M. Nijhoff, Anthropologica, Volume 140, 1984:324). Status sebagai kerajaan Katolik menjadikan penguasa Kerajaan Larantuka juga memiliki peran sebagai pemimpin urusan agama selain pemimpin pemerintahan. Raja, misalnya, berwewenang mengatur kegiatan-kegiatan keagamaan yang penting dan sakral. Hingga kini, ritual-ritual ala Vatikan masih banyak dijumpai di Larantuka.

          Gelar Portugis untuk raja-raja Larantuka masih digunakan hingga Don Lorenzo III DVG pada dekade ketiga abad ke-20 (Karel Steenbrink, Catholics in Indonesia, 1808-1942: A Documented History, 2002:89), Ia merupakan raja terakhir yang sebenarnya tidak memiliki kewenangan lagi karena saat itu Kerajaan Larantuka sudah dihapuskan Belanda. Belanda alias VOC menancapkan pengaruhnya di Timor sejak abad ke-15. Kala itu, VOC mulai memberikan tekanan terhadap Portugis yang memang lebih dominan. Pada 1613, Belanda menaklukkan benteng Portugis di Solor, pulau di sebelah timur Larantuka (Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur, 1984:43).

           Kekalahan di Solor membuat Portugis memusatkan kekuatannya di Larantuka. Di sinilah persaingan politik antar-bangsa imperialis terjadi di Nusantara yang kaya-raya. Portugis mendapat dukungan dari Kerajaan Larantuka untuk mempertahankan penguasaan atas perdagangan cendana yang diincar oleh Belanda. Di sisi lain, Belanda juga tidak sendiri. VOC merangkul kerajaan-kerajaan lain di Nusa Tenggara Timur yang memusuhi Portugis, terutama aliansi kerajaan Islam yang tergabung dalam persekutuan Watan Lema atau Lima Pantai (Didik Pradjoko, "Kerajaan Larantuka dan Politik Kolonial Belanda", dikutip dari Republika, 1 Januari 1970). Perang antara dua kubu ini terjadi cukup lama, hingga menjelang pertengahan abad ke-16. Salah satu pertempuran terbesar terjadi pada 1749 atau Perang Penfui (Dominikus Meak Parera & Gregor Neonbasu, Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor, 1994:21). Pasukan Portugis-Larantuka yang membawa 40 ribu tentara menyerang benteng Belanda di Kupang.

               Portugis-Larantuka menang untuk sementara, dan Belanda hanya bisa bertahan. Namun, nantinya justru terjadi perselisihan sendiri di kubu ini. Perselisihan bermula dari kelompok yang disebut Zwarte Portugeesen atau Portugis-Hitam, kalangan yang terdiri dari warga lokal keturunan Portugis yang bercampur dengan orang Melayu dari Malaka (Didik Pradjoko, dkk., Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia, 2013:261). Kelompok ini mula-mula berada di dalam barisan Portugis dan Larantuka. Setelah memenangkan Perang Penfui, golongan Portugis-Hitam menjalin aliansi lebih luas dengan kekuatan lokal di wilayah Timor lainnya. Bahkan, pasukan Zwarte Portugeesen kemudian mengusir seorang Gubernur Portugis sampai melarikan diri ke Dili (Timor bagian timur atau Timor-Timur, kini Timor Leste). Situasi tersebut membuat kekuatan Portugis dan Larantuka melemah. Di sisi lain, Belanda justru semakin berpengaruh di kawasan Timor bagian barat. Belanda dengan posisi yang menguat mulai melakukan penaklukan menuju timur. Ende dikuasai pada 1838, dan setahun berikutnya, giliran Larantuka yang diserang. Saat itu, Belanda telah beralih-rupa dari VOC menjadi pemerintah kolonial Hindia Belanda.

              Kondisi Larantuka yang sedang guncang, ditambah melemahnya Portugis, membuat Belanda berhasil memaksakan untuk dilakukan perundingan yang mulai dirintis pada 1851. Tanggal 20 April 1859, Portugis akhirnya menyerahkan wilayah Flores, termasuk Larantuka, kepada Belanda (M. Koehuan, dkk., Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Nusa Tenggara Timur, 1982:66). Sejak saat itulah, Larantuka dikuasai Belanda. Memasuki abad ke-20, pemerintahan kerajaan di Larantuka dihapuskan dan diperintah langsung oleh Gubernemen Hindia Belanda. Dengan demikian, riwayat Larantuka sebagai kerajaan Katolik pertama di Nusantara --dan barangkali satu-satunya, dipastikan tamat meskipun masih ada raja yang hanya diposisikan sebagai simbol semata. Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942. Tiga tahun lebih berselang, gantian Jepang yang kalah sehingga memberikan peluang bagi bangsa Indonesia untuk merdeka. Larantuka pun bergabung dengan NKRI dan kemudian menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Flores Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

 

2.2.1. Tinjauan dari Gerakan Quietisme; Problem Pertemuan Agama Katolik dan Kepercayaan Lokal Rera Wulan/Lera Wulan di Larantuka dan Solor

 

            Salah satu materi pembahasan kuliah dalam Sejarah Gereja II adalah Quietisme. Quitisme berasal dari kata Quiet yang berarti tenang hening[6]. Aliran ini menolak ritus keagamaan. Mereka percaya bahwa ada sesuatu yang tertinggi tetapi bukan Allah. Bagaimana Kaitan antara Quietisme dengan pertemuan agama katolik dan kepercayaan lokal? Setiap kebudayaan pasti memiliki kepercayaan tentang Wujud Tertinggi atau Allah. Allah selalu menyejarah dan terlibat dalam hidup manusia. Dia hadir dalam hidup sehari-hari, dalam pengalaman gelap dan terang hidup manusia, dalam kerinduan dan harapan dan kecemasan manusia-manusia. Tuhan adalah Tuhan yang terlibat dalam hidup sehari-hari[7]. Dahulu sebelum agama Katolik masuk di bumi Larantuka dan Solor, masyarakat setempat mempunyai suatu kepercayaan akan wujud yang tertinggi yang disebut Lera Wulan atau Rera Wulan. Masyarakat Larantuka dan Solor sangat menghormati dan memandang Rera Wulan sebagai Pencipta langit dan Bumi. Dialah yang menciptakan semua yang hidup, termasuk alam raya. Dalam bahasa daerah Larantuka dan Solor, sebutan Rera Wulan terdiri dari dua suku kata. Rera berarti Matahari, dan Wulan berarti Bulan. Jadi Rera Wulan bisa diartikan sebagai Matahari dan Bulan. Menurut kepercayaan masyarakat Larantuka dan Solor, Rera Wulan itu tinggal diatas langit dan Ia mempunyai seorang isteri yakni Ema tana Ekan atau Ibu Bumi. Para Leluhur Larantuka dan Solor yang pertama sangat menaruh kepercayaan pada Rera Wulan. Mereka memandang Rera Wulan sebagai Yang Tertinggi dari semua yang ada. Dialah Rera Wulan yang selalu terlibat dan hadir dalam seluruh kehidupan masyarakat Larantuka dan Solor. Kepercayaan akan Rera Wulan ini pun berlanjut sampai sekarang. Masyarakat Larantuka dan Solor mempercayai bahwa Rera Wulan jauh lebih pandai dan bijaksana daripada manusia[8]. Rera Wulan juga dipandang sebagai Tuan yang menjadikan semua manusia dan mempunyai kuasa yang besar atas segala sesuatu. Ia baik hati, Ia memberikan hujan, kekayaan dan juga kemiskinan. Betapapun rajinnya seseorang, betapapun tekunnya ia mengerjakan ladangnya, namun ia tidak akan menjadi lebih kaya jika Rera Wulan tidak menghendakinya. Rera Wulan juga menganugerahkan manusia untuk memperoleh banyak anak. Seluruh tata kehidupan diatas bumi berasal dari Rera Wulan. Masyarakat Larantuka dan Solor sangat menjunjung tinggi dan mengormati sosok Rera Wulan. Rera Wulan adalah penguasa tertinggi segenap ciptaan[9]. Masyarakat Larantuka dan Solor percaya bahwa Rera Wulan selalu hadir dan menemani seluruh hidup mereka. Dia selalu memberi kekuatan dalam terang dan gelap, serta kecemasan-kecemasan mereka.

            Kehadiran Agama Katolik di Larantuka dan Solor selain membawa dampak positif, namun membawa juga dampak negatif. Dampak negatif ini terutama dialami oleh imam-imam Dominikan asal Portugis. Imam Dominikan asal Portugis ini mendapat banyak problem atau masalah tentang agama Katolik yang mereka wartakan dan kepercayaan masyarakat lokal setempat. Ada semacam penolakan dari masyarakat Larantuka dan Solor berkaitan dengan iman dan kepercayaan mereka kepada agama baru yakni agama Katolik. Masyarakat Larantuka dan Solor yang sudah lama menganut kepercayaan lokal Rera Wulan terhadap para leluhur nenek moyang ini, kini dipaksa untuk mengenal agama Katolik. Para imam Dominikan awalnya di tolak oleh masyarakat setempat karena beberapa alasan antaralain; Masyarakat setempat para penjajah Portugis berprilaku tidak adil dengan masyarakat pribumi. Mereka mengambil semua hasil panen berupa cendana diekspor ke Negara Portugis. Selain itu kerja paksa terus-menerus yang di berlakukan untuk masyarakat pribumi. Walaupun demikian cara hidup para Imam Dominikan yang sangat sederhana dan dekat dengan umat setempat, membuat masyarakat setempat akhirnya berminat dengan agama baru yakni agama Katolik. Wilayah Larantuka dan Solor akhirnya menjadi basis ke Katolikan yang sangat kuat pada abad ke XVI. Dengan menganut agama Katolik ini masyarakat Larantuka dan Solor akhirnya percaya bahwa Rera Wulan yang mereka sembah selama ini bukan Tuhan. Tuhan yang sebenarnya adalah Yesus. Kini kepercyaan akan Rera Wulan dalam masyarakat Larantuka dan Solor masuk dalam adat dan kebudayaan setempat. Mereka hanya menyembah satu Allah yakni Allah Tritunggal.

 

2.2.2. Relevansi Quietisme dan Misi Gereja bagi Perkembangan Iman Umat Larantuka dan Solor

 

          Misi Gereja tidak boleh menggusur kebudayaan masyarakat setempat tetapi berusaha sedapat mungkin dan perlu hati-hati mengakomodasi bahasa, simbol, tradisi, dari budaya lokal setempat dengan memberi arti dan makna baru yaitu makna ke Kristenan. Simbol-simbol dijadikan sarana untuk menyatakan inkarnasi Kristus. Hal inilah yang di lakukan oleh imam-imam Dominikan asal Portugis. Gereja dari zaman ke zaman selalu bergerak memberitakan Injil Allah. Injil Allah yang diwartakan harus selalu menyesuaikan diri dengan konteks zaman. Injil Allah sangat relevan apabila mampu menyesuaikan diri dengan suatu konteks kebudayaan setempat. Refleksi akan Injil Allah harus menyentuh dengan iman umat setempat. Benar apa yang dikatakan oleh mendiang Paus Yohanes Paulus II dalam Lettera di Fondasione del Pontificio Consiglio della Cultura, Roma 1982, beliau mengatakan; "Iman yang belum menyentuh kebudayaan setempat adalah iman yang belum sepenuhnya di terima[10]". Para Imam Dominikan asal Portugis menurut hemat saya sudah melakukan misi Gereja dengan baik sehingga mereka mampu menyesuaikan diri dengan konteks kultur budaya Larantuka dan Solor sehingga mereka mampu merebut hati banyak orang untuk menjadi anggota Gereja. Larantuka dan Solor boleh dikatakan menjadi basis ke Katolikan yang berpengaruh pada masa itu di dareah Flores Timur.

 

III. Kesimpulan

 

           Misi Gereja dalam memberitakan Injil Allah sangat diperlukan. Gereja tanpa henti selalu membawa kabar baik kepada semua bangsa. Banyak para misionaris pergi keseluruh dunia mewartakan kerajaan Allah. Gereja selalu menyerukan untuk memberitakan Injil Allah kepada semua bangsa. Para Imam Dominikan asal Portugis ini berhasil mewujudkan pesan Yesus; "Pergilah, Jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus" (Mat 28:19). Masyarakat Larantuka dan Solor sangat bersyukur karena Para Imam Dominikan asal Portugis ini bisa memperkenalkan Injil Allah kepada mereka. Ini merupakan suatu rahmat dari Allah. Sampai saat ini iman Katolik bertumbuh subur di wilayah Larantuka dan Solor.

Daftar Kepustakaan

 

Sumber Buku:

 

Denny Firmanto Antonius. Diktat Eklesiologi, Identitas Gereja, 2012.

 

Paus Paulus II Yohanes. Surat Mengenai Ziarah kepada Tempat-Tempat yang Berkaitan dengan Sejarah Penyelamatan (tanggal 29 Juni 1999) dan L' Osservatore Romano (tanggal 30 Juni-1 Juli 1999.

 

Riyanto Armada. Menjadi-Mencintai, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm 21.

 

Fidelis Bolo Wotan. Semana Santa and Devotion Mary Mater Dolorosa: An Inheritance of Faith in the Work of Evangelization of Dominican Missionaries in Larantuka, Flores-Indonesia. Thesis Submitted in Partial Fulfilment of the Licenciate in Sacred Theology with Specialization in Mariology, Roma: Pontifical Faculty Of Theology.

 

Paul Arndt. Agama Asli di Kepulauan Solor, Maumere: Puslit Candraditya, 2003.

 

Kristiyanto Eddy OFM. Reformasi dari Dalam Sejarah Gereja Zaman Moderen, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

 

Paul Arndt. Falsafah Hidup Masyarjakat di Kepulauan Solor, Maumere; Puslit Candraditya, 2003.

 

Kristiyanto Eddy OFM. Seandainya Indonesia Tanpa Katolik, Jakarta: Obor, 2015.

 

Internet:

 

https://maryantosilvester.blogspot.com/2012/07/Benteng-Lohayong dan-Sejarah Masuknya.html, Diakses di Seminari Montfort Malang, pada tanggal 22 Nopember 2020.

 

https://Tirto.id/Tamatnya-Kerajaan-Kristen-Pertama-di-Nusantara-Larantuka-cvuU, Diakses di Seminari Montfort Malang, pada tanggal 22 Nopember 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun