Mohon tunggu...
OSTI  LAMANEPA
OSTI LAMANEPA Mohon Tunggu... Mahasiswa - DEO GRATIA (RAHMAT ALLAH)

MAHASISWA FILSAFAT DAN TEOLOGI

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bahagia dalam Kesepian dan Misteri Kematian Manusia

2 Mei 2021   10:53 Diperbarui: 3 Mei 2021   22:05 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Sebuah permenungan Dari W. E. Hulme, dan pandangan Filosofis 

     tentang Hakikat Hidup saat manusia di landa Kesepian dan Kematian

     Oleh: Osti Lamanepa, Mahasiswa Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang

Manusia pada dasarnya adalah makluk sosial. Namun demikian tidak berarti bahwa dengan berelasi dengan orang lain manusia selalu bahagia dalam hidup. 

Orang yang suka berelasi dengan orang lain, suka bergaul dengan banyak orang, dan melibatkan diri dalam keramaian belum tentu merasa senang dan terhibur dalam situasi seperti itu. 

Demikian halnya orang suka menyendiri belum tentu menikmati saat ia sendirian saja. Dalam bukunya Sickness unto Death, Soren Kierkegaard mencemooh orang yang takut tinggal sendiri. Ia menulis demikian:

"Dalam pola pergaulan sosial yang semakin ramai dewasa ini, orang merasa begitu ngeri bila harus tinggal sendirian. Mereka tidak tahu bagaiamana menggunakan waktu yang sepi, selain memandangnya sebagai hukuman bagi tindakan yang jahat".

Kesepian dan keterasingan seringkali membuat kita merasa terkungkung bagaikan dalam penjara. Keheningan merupakan suatu sarana yang paling baik bagi kita agar kita dapat keluar dari cengkeraman rasa sepi. 

Sarana yang paling dianjurkan saat hening dan sendirian yakni meditasi. Dewasa ini, meditasi bukanlah barang isengan melainkan suatu kebutuhan rohani yang dirasakan manfaatnya oleh kebanyakan orang, baik dewasa maupun kaum muda untuk menemukan suatu keheningan yang berdaya-cipta. 

Beberapa cara bersemedi (bermeditasi) yang dikembangkan di dunia Timur berpusat pada sesuatu yang konkrit, seperti kata-kata mantra, cara bernapas dan lain sebagainya

 Cara itu digunakan sebagai sarana untuk memasuki alam-bawah-sadar. Semua cara atau teknik seperti itu dimaksudkan sebagai bantuan bagi orang yang tengah melakukan meditasi, agar dapat mendengarkan suara batinnya dan merasakan kerinduan serta gejolak jiwanya yang paling halus.

Menghadapi kesepian dengan cara meditasi sama sekali berbeda dengan menyerahkan diri kepada kesepian karena tak bisa dihindari. Ada orang yang mencari rasa aman dengan menyibukan diri dalam pekerjaan, karena takut mengambil risiko ditolak oleh orang lain. 

Kesendirian seperti itu bukan yang dimaksudkan dengan keheningan yang berdaya-cipta. Menghadapi kesepian dengan cara demikian, bahkan dapat menumbuhkan rasa bosan. 

Ada banyak orang yang bermeditasi telah menemukan kesenangan yang mereka cari; mereka dapat tinggal sendirian tanpa merasa sepi. Hasil yang diharapkan dari meditasi itu adalah ketenangan jiwa, dan bukannya kegelisahan. Namun demikian, kegelisahan pun dapat juga di olah sebagai bahan meditasi. 

Menasehati orang yang tengah mengalami kesepian agar memusatkan pikiran pada hubungannya dengan dirinya sendiri mungkin dipandang sebagai cara yang kurang tepat. 

Sebab, orang itu sudah muak dengan dirinya sendiri, dan tidak menginginkan apa pun kecuali lari daripadanya. Ia mau bergaul dengan orang lain saja. 

Akan tetapi masalah yang dihadapinya sesungguhnya bukan pilihan antara hubungan dengan orang lain. Sebab ia hanya dapat berhubungan dengan orang lain, bila ia dapat berhubungan dengan dirinya sendiri.

Berani menghadapi kesepian, sesungguhnya merupakan petualangan untuk menemukan hal-hal yang baru. Berhubungan dengan diri sendiri bukan hanya berarti berhubungan dengan diri kita sebagai pribadi, melainkan berhubungan dengan kemanusiaan kita pada umumnya; 

Penderitaan kita adalah penderitaan orang lain sebagaimana kesenangan kita adalah kesenangan orang lain juga. Kesepian yang berdaya-cipta adalah suatu dasar untuk hidup bermasyarakat, karena kesepian ini merupakan dasar bagi identitas kita dengan kemanusiaan seluruhnya. Kita membawa serta kesepian yang berdaya-cipta kedalam lingkungan pergaulan kita. 

Kita mengalaminya di tengah-tengah manusia lain. Daya cipta kesepian membangun identitas kita dan merupakan sarana untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini sangat baik diungkapkan oleh Henri Nouwen dalam bukunya Reaching Out. Ia menulis demikian:

"Peralihan dari kesepian yang biasa (loneliness) menuju pada keheningan yang berdaya-cipta (creative solitude) menciptakan ruang batin yang memungkinkan kita untuk menjalin hubungan batin dengan sesama manusia".

             Pada waktu kita sendirian, pada saat kita merasa kesepian, kita bukannya tanpa hubungan apa pun. Diri kita sendiri (ourself) menurut definisinya sudah merupakan suatu hubungan yaitu hubungan antara "aku" dan "diriku". Itulah sebabnya mengapa kita menipu diri, menghukum diri. Memaafkan diri atau memuja diri sendiri. Aku sebagai subjek sadar akan diriku sebgai objek. Hubungan inilah yang memungkinkan kita mengalami keheningan atau kesepian yang berdaya cipta itu. Kita dapat semakin senang bergaul dengan diri kita sendiri. Ingatan dan imaginasi memainkan peranan besar dalam membantu kita untuk berhubungan dengan diri kita sendiri. Ingatan, menghubungkan kita dengan masa lalu, termasuk didalam kesadaran bahwa kita memilki riwayat hidup. Sedangkan imaginasi menghubungkan kita di masa yang akan datang. Kita bukan hanya manusia masa lalu, tetapi juga kita adalah manusia yang terus menjadi. Hubungan antara masa lalu dan masa yang akan datang memberikan kepada masa kini yaitu saat kita hidup sekarang ini baik kelangsungan maupun perkembangan. Dua segi ini merupakan dasar bagi refleksi dalam suasana hening yang berdaya-cipta.

              Kesepian kerap kali mengakibatkan penderitaan bagi manusia. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat ini, manusia modern merasa sangat sepi di tengah-tengah manusia lain. Manusia modern merasa asing di tengah kemajuan-kemajuan teknologi. Maraknya perkembangan teknologi, membuat manusia seolah-olah dikendalikan oleh teknologi. Manusia modern merasa sepi karena ia menyadari kekhususannya sebagai individu yang terbatas. Keterbatasan sebagai makhluk biologis itulah menyadarkannya bahwa tubuh dapat menentukan batas karena manusia terbatas pada ruang dan waktu tertentu. Manusia menyadari bahwa tubuhnya lebih dari sekedar tubuh yang dapat dilihat dan dipegang. Ia adalah roh yang juga memiliki kesadaran. Tetapi bila ia membedakan roh dengan tubuh, maka akan terjadi kebingungan. Demikian pula kita semua. Kita akan bingung bila roh kita lepaskan dari kesatuannya dengan tubuh.

             Tubuhlah yang memberikan kepada kita perasaan sakit atau senang. Sebagai contoh kalau jari kita tertusuk duri, maka seluruh diri kita merasa sakit. Namun demikian, kita juga dapat meninggalkan tubuh kita. Dengan berkhayal, kita mengatasi batas ruang dan waktu sementara tubuh kita tidak bergerak sedikit pun. Tubuh juga dapat kita gunakan untuk menyembunyian maksud dan perasaan kita. Kita dapat berpura-pura tidur untuk mengelabui orang lain, tersenyum pada orang yang tidak kita sukai, atau bersikap seolah-olah tenang sewaktu menghadapi masalah atau bahaya yang menggetarkan hati. Dengan demikian kita menggunakan tubuh untuk memanipulasikan kenyataan yang sebenarnya melalui tindakan-tindakan lahiriah. Boleh dikatakan bahwa manusia melakukan sesuatu hal dalam arti tertentu bahwa ia sadar. Ia bisa menyadari bahwa ia sedang bermain sandiwara. Manusia dapat memikirkan kembali perbuatannya, bahkan dapat merasa bersalah karenanya. Kalau kita dapat menggunakan tubuh untuk menyembunyikan identitas kita, maka jelaslah bahwa tubuh sesungguhnya kurang mampu membatasi diri kita. Justru kita sendirilah yang dapat melampauinya. Meskipun demikian, perlu kita sadari bahwa melampaui batas-batas tubuh (transcendence) dapat membuat kita semakin merasa sepi dan terisolir. Kemampuan kita untuk melampaui tubuh pun terbatas juga. Tubuh dapat menjadi sasaran empuk bagi segala macam bentuk penyakit dan serangan lahiriah. Kekuatan tubuh punakan semakin menurun dengan bertambahnya umur. Sampai akhirnya tubuhlah yang akan membawa kita pada puncak pengalaman akan kesunyian, yakni kematian. Kita semua pasti akan mati. Dalam kematian itu, kita mati seorang diri artinya kematian universal bersifat individual. Manusia bertumbuh dan berkembang dan pada akhirnya ia bergerak menuju pada kematian. Kematian adalah berakhirnya kehidupannya di dunia ini. Dalam perjalanan hidupnya manusia tidak bisa lari dari kematian.

               Misteri kematian merupakan hal yang secara mutlak di alami oleh semua manusia. Pada saat kematian, berhentilah seluruh fakta sekunder yakni ia tidak berkembang lagi, tidak mempunyai kemungkinan atau kemampuan untuk meninjau kembali lagi. Seluruh orientasi terhadap segala perbuatan yang baik dan yang jahat telah terbeku untuk selama-lamanya. Pada saat kematian ia tidak lagi mengekspresikan diri dalam seluruh fenomen-fenomen maka pengakuan manusia bukan lagi hanya implisit melainkan eksplisit dan penuh. Saat manusia mencapai titik akhir yakni kematian, ia tidak lagi berada secara konkrit untuk berelasi dengan orang lain. Kematian membawanya kepada kehidupan baru dan secara tidak langsung cinta, kesetiaan, kejujuran, serta hal-hal baik ikut terkubur dalam kebekuan. Hal ini membuat semua manusia takut akan kematian. Kematian secara tidak langsung ingin selalu di hindari oleh manusia, namun kita tidak pernah lari dari kenyataan bahwa kita semua pasti bergerak menuju pada kematian. Setiap manusia menyadari bahwa kematian merupakan unsur yang formal dan unsur imanen yang tidak bisa dihindari.

                Kematian adalah pilihan setiap orang dan tidak dapat diambil lagi. Kematian disini adalah milik subjek artinya kematian itu merupakan hal yang mutlak dialami oleh setiap pribadi atau subjek. Manusia sebagai pribadi perorangan mengalami kematian secara pribadi. Selama hidupnya subjek yang bersangkutan berjalan menuju arah kematian. Semua manusia akan meninggal dan musnah dalam kematian. Dalam kematian ia menciptakan keabadiannya sendiri. Saat manusia menghembuskan nafas terakhir, maka secara otomatis, seluruh orientasi hidupnya ikut masuk dalam keabadian. Dalam kematian ini manusia mencapai kebebasan definitif dan mencapai puncaknya pada saat kristalisasi. Manusia di kristalisasi menurut perbuatan baik dan buruk. Andaikata dalam hidupnya manusia melakukan yang baik, maka kristalisasi itu mengumpulkan seluruh kebaikan, dan apabila selama hidupnya dia melakukan kejahatan, maka kristalisasi itu mengumpulkan segala perbuatan buruknya. Dengan demikian secara tidak langsung semua manusia berharap pada kristalilsasi. Pengalaman kristalisasi adalah pengalaman kepenuhan, kesempurnaan, dan keutuhan.  Dalam kristalisasi ini, manusia berharap agar titik kristalisasi itu membawanya masuk dalam proses pemanusiaannya dengan nasib. Adapun segi kristalisasi antara lain kebangkitan badan, pengadilan, sorga dan neraka. Dalam kebangkitan badan, badan ikut serta dalam kristalisasi dan manusia secara tidak langsung mengadili dirinya sendiri serta menciptakan surga dan nerakanya sendiri-sendiri.

Setelah manusia meninggal, dunia dan masyarakat yang lain terus berkembang terus dan berjalan terus. Dari sudut pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa orang yang mati masih menunggu penyelesaiannya, yakni ia sedang diabadikan. Orang yang telah mati mempunyai pengaruhnya juga kepada orang yang masih hidup dan orang yang masih hidup mempunyai pengaruhnya juga kepada orang yang telah mati. Namun karena orang yang mati itu tidak berkembang lagi, maka pengaruh orang mati itu tidak dapat di tingkatkannya. Segala kebaikan yang telah diperbuatnya selama masih hidup kini hanya tinggal kenangan dan warisan. Kematian tetap menjadi misteri bagi semua orang. Fenomena kematian ini membawa manusia pada suatu permenungan yang lebih mendalam bahwa hidup ini tidaklah sia-sia. Kebanyakan semua orang belum memahami sungguh tentang misteri kematian sehingga hal ini membuat semua orang takut akan kematian. Penjelasan filosofis ini berbeda dengan pandangan Umat Katolik. Dalam kepercayaan Kristiani Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus datang ke dunia dan menyelamatkan kita dari dosa. Pengalaman kebangkitan Yesus menjadi harapan bagi kita orang Kristiani bahwa setelah kematian ada kehidupan.

Osti Lamanepa, adalah Mahasiswa Filsafat dan Teologi Widya sasana Malang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun