Mohon tunggu...
Daniel Oslanto
Daniel Oslanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Rasanya lebih sulit berganti klub kesayangan ketimbang berganti pasangan (Anekdot Sepakbola Eropa) - 190314

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kambing Hitam Wacana "Full Day School" sebagai Misintepretasi Sistem Pendidikan

11 Agustus 2016   11:27 Diperbarui: 11 Agustus 2016   15:03 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benarkah FDS memang tidak cocok kepada anak sekolahan SD dan SMP (sumber : kompas)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendi melontarkan sebuah wacana baru untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar yang ada di Indonesia. Konsep itu bernama “Full Day School” (FDS), di mana anak akan menghabiskan waktu di sekolah “lebih lama” daripada biasanya. Wacana ini bila diterapkan akan diberlakukan di sekolah swasta maupun negeri untuk tingkat SD dan SMP. Namun, seperti biasa, wacana ini mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Seperti biasa, saya mencoba untuk menjaring beberapa opini dari teman, rekan, dan mitra kerja dari berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan, mengenai tanggapan mereka terkait wacana FDS yang sempat dilontarkan oleh Mendikbud dan tidak sedikit yang menolak. Seorang rekan wanita karier berpendapat bahwa FDS itu tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia, apalagi untuk ukuran Jakarta. Alasannya cukup rasional, anak-anak butuh main, lebih bahagia pulang sekolah masih ada waktu untuk bermain. Di sisi lain, pulang jam 5 akan menambah kemacetan Jakarta. 

Seorang teman semasa kuliah, pekerja kantoran, memberikan pandangan yang tak kalah menarik. Beliau justru kembali memberikan pernyataan retoris yang sarat dengan sindiran, “Entah memang menteri kita sejelek ini, atau ini semacam bentuk kekecewaan dari orang-orang tentang Anies dicabut dari jabatannya, sehingga hal sederhana seperti ini menjadi masalah besar?” Beliau menambahkan, “Terlepas dari hal tersebut, mungkin karena sebagian besar hal ortu, hal ini gak sepele. Karena anak sekolah butuh bersosialisasi dengan hal lain selain sekolah.”

Namun, tetap ada yang mendukung dengan “beberapa catatan”. Seorang teman, pekerja di Jakarta, mengungkapkan bahwa wacana FDS ini sangat cocok diterapkan di kota-kota besar seperti Jakarta, namun tidak cocok diterapkan di desa-desa. Alasan beliau juga tak kalah relevan. Pertama, kecenderungan kehidupan di kota besar, seperti Jakarta misalnya, adalah kedua orangtua bekerja sehingga waktu kepada anak sehabis sekolah lebih banyak dihabiskan dengan asisten rumah tangga atau nanny-nya. Dengan menghabiskan waktu di sekolah lebih “efektif” dan tepat sasaran dalam perkembangan psikologis anak ketimbang diasuh sama asisten rumah tangga yang dianggap tidak memiliki kualifikasi pengetahuan dalam memahami psikologis anak. 

Alasan kenapa FDS tidak bisa diterapkan di desa karena anak-anak desa pada umumnya sehabis sekolah membantu orangtuanya bekerja, entah itu bertani, berkebun, atau mencari ikan dsb.. Seorang rekan yang lain berpendapat bahwa dia setuju dengan FDS dengan catatan bahwa porsi bermain anak lebih diperbanyak ketimbang pembelajaran formal nan teknis dan terkesan membebani anak.

Tapi terlepas dari pro dan kontra terkait mengenai wacana FDS, FDS hanyalah satu konsep dari ratusan atau ribuan parameter yang ada dalam kompleksitas sebuah sistem pendidikan. Dan mempertanyakan sebuah konsep sebagai tolok ukur suksesnya sebuah sistem pendidikan, bukankah itu sebuah tindakan yang menggelikan? Terima atau tidak, ada sebuah misintepretasi wacana FDS sebagai sebuah konsep pendidikan.

Misintepretasi Orangtua

Salah satu alasan Mendikbud menyuarakan mengenai FDS adalah fakta lapangan yang memperlihatkan bahwa orangtua (terutama yang berdomisili di kota besar) menghabiskan 2/3 dari waktunya dalam sehari untuk urusan pekerjaan sehingga kebutuhan anak akan perhatian setelah sepulang belajar di sekolah seringkali dialihkantugaskan kepada asisten rumah tangga atau menghabiskan waktu bermain di lingkungan luar tanpa pengawasan orangtua. Sebuah alasan yang relevan namun, secara pesonal masih belum cukup kuat menjadi landasan wacana digulirkannya FDS.

Ada dua hal mendasar yang menjadi paradigma pendidikan dan kerap kali menjadi misinterpretasi orangtua. Pertama, tidak sedikit orangtua sering salah mengintepretasikan FDS, dengan menganggap FDS akan membuat anak lebih mirip “pekerja kantoran” ketimbang anak sekolahan. Sekolah, belajar, sehabis jam sekolah, pulang untuk menghabiskan waktu di sekolah untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan bermain di sekolah, meskipun FDS tidaklah demikian. 

Justru kenyataan saat ini, tidak sedikit orangtua yang malah menjadikan anaknya menjadi “kuda pacu” untuk menebus “kegagalannya” di masa lalu. Sebagai contoh, orangtua gagal menjadi dokter, maka anak akan diprospek layaknya petugas MLM setiap hari agar si anak menjadi dokter. Atau sewaktu sekolah, orangtuanya tidak pandai matematika, ketika memiliki anak, orangtua akan memaksa anaknya untuk mengikuti les matematika. Atau sang orangtua ingin anaknya menjadi jenius, seperti yang ada di pemberitaan media, maka dia “memaksa” anaknya bisa baca tulis hitung di usia 4 tahun, lalu lulus SMA di usia 14 tahun melalui sekolah akselerasi. Sebenarnya, siapa yang kerap “menyiksa” anak sekolahan?

Kedua, orangtua justru lebih sering “lepas tangan” terkait perkembangan pendidikan anak dan selalu muncul di saat yang tidak tepat. Sebagai contoh, kebanyakan orangtua lebih suka menyerahkan anaknya untuk dididik di sekolah, dan dipercayakan di sekolah. Berhasil atau tidaknya sang anak adalah tanggung jawab guru yang mengajar, dan apabila sang anak dihukum dengan sebuah hukuman yang mungkin tidak pernah didapat di dalam lingkungan rumah (seperti misalnya dicubit atau dilibas dengan sapu lidi), maka orangtua akan mengambil tindakan “menghukum sang guru” atau melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Untuk contoh ini, sudah terjadi beberapa kali di Indonesia. 

Saya pernah bertanya kepada seorang teman yang kebetulan guru , dengan pertanyaan, “Menurutmu, apakah seorang anak kecil yang belum melewati masa pubertas, mengerti dengan kata-kata?” Dia hanya menggelengkan kepalanya sembari tetap menatap saya dengan serius. Exactly! Kenapa anak-anak dihukum dengan tindakan, bukan kata-kata? Karena anak takut akan hukuman berupa tindakan, dan hati mereka itu murni, tidak mengerti sakit hati kata-kata seperti orang dewasa.

Menerobos Paradigma Pendidikan Indonesia

Ada sebuah slogan yang dari dulu selalu menjadi slogan yang sangat mengena mengenai pendidikan. Wajib belajar 9 tahun, wajib belajar 12 tahun. Lalu bila anak Indonesia semua telah mengalami wajib belajar, apakah sistem pendidikan Indonesia sudah memenuhi standar mutu pendidikan yang baik? Ternyata tidak ada korelasi lamanya belajar di sekolah dengan mutu pendidikan di Indonesia. Paradigma yang ada hingga saat ini, pendidikan itu adalah sebuah KEWAJIBAN, bukan sebuah HAK. Tidak sedikit anak merasa “dituntut” untuk mengikuti pendidikan, bukan merasa pendidikan itu adalah sebuah hak yang mereka dapatkan untuk memperbaiki kualitas kehidupan.

Saya mengambil contoh pada tahun 2011, ketika saya mengikuti magang di sebuah perusahaan perkebunan dan pabrik minyak kelapa sawit di Sumatera. Bersama dengan rekan yang ikut magang, kami diminta oleh supervisi kami untuk memberikan “pencerahan” kepada anak-anak petani kebun atau pabrik yang sekolah di sana (sekolah yang didirikan perusahaan) mengenai pentingnya pendidikan. Ketika kami mengunjungi SMA, saya bertanya, “Berapa banyak yang ingin melanjutkan pendidikan alias kuliah? Coba angkat tangannya.” Respons mereka sangat mengejutkan. Jumlah yang mengangkat tangan dapat dihitung dengan jari tangan. Hampir semua memilih tidak melanjutkan kuliah. Saat saya bertanya, mengapa? 

Jawaban mereka, mereka akan kembali menjadi petani sawit dan menghasilkan uang seperti orangtua mereka. Lalu saya kembali bertanya, “ Bila kamu telah menghabiskan waktu 6 tahun SD, 3 tahun SMP, 3 tahun SMA, total 12 tahun, kenapa harus bersusah payah sekolah? Kalo toh mau kembali ke kebun, tak usah sekolah, bisa kok hidup berkebun.” Mereka terdiam saat saya mengajak mereka berpikir. Namun, saya menarik sebuah kesimpulan yang sangat esensial dari pembicaraan ini. Mereka adalah gambaran dari anak Indonesia, yang merasa pendidikan adalah sebuah keharusan, kewajiban yang harus dijalani, bukan sebuah kebutuhan yang mendasar, sebuah hak yang memang mereka harus dapatkan.

Peranan orangtua sangat penting untuk mengubah paradigma ini. Memang tidak dipungkiri, faktor biaya pendidikan yang tidak sedikit, seringkali menjadi “hambatan” terbesar sekaligus “pembenaran diri” bagi orangtua untuk menegaskan bahwa pendidikan itu bukanlah sebuah prioritas (bertahan hidup adalah prioritas). Ditambah dengan dua misintepretasi orangtua terhadap dunia pendidikan seperti yang diuraikan di atas, semakin menegaskan ada paradigma yang belum berubah dalam pendidikan di Indonesia. Dan FDS, hanyalah satu dari beberapa kambing hitam sebagai wujud misinpretasi pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun