Saya pernah bertanya kepada seorang teman yang kebetulan guru , dengan pertanyaan, “Menurutmu, apakah seorang anak kecil yang belum melewati masa pubertas, mengerti dengan kata-kata?” Dia hanya menggelengkan kepalanya sembari tetap menatap saya dengan serius. Exactly! Kenapa anak-anak dihukum dengan tindakan, bukan kata-kata? Karena anak takut akan hukuman berupa tindakan, dan hati mereka itu murni, tidak mengerti sakit hati kata-kata seperti orang dewasa.
Menerobos Paradigma Pendidikan Indonesia
Ada sebuah slogan yang dari dulu selalu menjadi slogan yang sangat mengena mengenai pendidikan. Wajib belajar 9 tahun, wajib belajar 12 tahun. Lalu bila anak Indonesia semua telah mengalami wajib belajar, apakah sistem pendidikan Indonesia sudah memenuhi standar mutu pendidikan yang baik? Ternyata tidak ada korelasi lamanya belajar di sekolah dengan mutu pendidikan di Indonesia. Paradigma yang ada hingga saat ini, pendidikan itu adalah sebuah KEWAJIBAN, bukan sebuah HAK. Tidak sedikit anak merasa “dituntut” untuk mengikuti pendidikan, bukan merasa pendidikan itu adalah sebuah hak yang mereka dapatkan untuk memperbaiki kualitas kehidupan.
Saya mengambil contoh pada tahun 2011, ketika saya mengikuti magang di sebuah perusahaan perkebunan dan pabrik minyak kelapa sawit di Sumatera. Bersama dengan rekan yang ikut magang, kami diminta oleh supervisi kami untuk memberikan “pencerahan” kepada anak-anak petani kebun atau pabrik yang sekolah di sana (sekolah yang didirikan perusahaan) mengenai pentingnya pendidikan. Ketika kami mengunjungi SMA, saya bertanya, “Berapa banyak yang ingin melanjutkan pendidikan alias kuliah? Coba angkat tangannya.” Respons mereka sangat mengejutkan. Jumlah yang mengangkat tangan dapat dihitung dengan jari tangan. Hampir semua memilih tidak melanjutkan kuliah. Saat saya bertanya, mengapa?
Jawaban mereka, mereka akan kembali menjadi petani sawit dan menghasilkan uang seperti orangtua mereka. Lalu saya kembali bertanya, “ Bila kamu telah menghabiskan waktu 6 tahun SD, 3 tahun SMP, 3 tahun SMA, total 12 tahun, kenapa harus bersusah payah sekolah? Kalo toh mau kembali ke kebun, tak usah sekolah, bisa kok hidup berkebun.” Mereka terdiam saat saya mengajak mereka berpikir. Namun, saya menarik sebuah kesimpulan yang sangat esensial dari pembicaraan ini. Mereka adalah gambaran dari anak Indonesia, yang merasa pendidikan adalah sebuah keharusan, kewajiban yang harus dijalani, bukan sebuah kebutuhan yang mendasar, sebuah hak yang memang mereka harus dapatkan.
Peranan orangtua sangat penting untuk mengubah paradigma ini. Memang tidak dipungkiri, faktor biaya pendidikan yang tidak sedikit, seringkali menjadi “hambatan” terbesar sekaligus “pembenaran diri” bagi orangtua untuk menegaskan bahwa pendidikan itu bukanlah sebuah prioritas (bertahan hidup adalah prioritas). Ditambah dengan dua misintepretasi orangtua terhadap dunia pendidikan seperti yang diuraikan di atas, semakin menegaskan ada paradigma yang belum berubah dalam pendidikan di Indonesia. Dan FDS, hanyalah satu dari beberapa kambing hitam sebagai wujud misinpretasi pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H