[caption caption="Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, menolak pendanaan LGBT oleh UNDP di Indonesia (Detik)"][/caption]
Bagian Program Pengembangan PBB atau United Nation Development Programme (UNDP) dikabarkan menggelontorkan US$ 8 juta (Sekitar 108 Milyar rupiah) untuk mendukung LGBT (Lesbian, gay, Transgender, Bisexsual) di China, Thailand, Indonesia dan Filipina. Hal ini mengundang komentar beragam dari berbagai tokoh publik di Indonesia. Wakil Presiden Jusuf Kalla secara tegas menolak program PBB ini, demikian halnya dengan Ketua MPR, Zulkifli Hasan. Tak ayal, polemic terkait LGBT kembali mengemuka ke permukaan setelah sempat senyap termakan oleh isu isu permasalahan politik maupun sosial yang terjadi belakangan ini. Terlebih, adanya usaha dari PBB untuk “mendukung” LGBT ke empat negara termasuk Indonesia menjadi sinyal betapa perkembangan LGBT menjadi begitu progresif. Diawali aksi komunitas LGBT di bundaran Hotel Indonesia pada tanggal 17 mei tahun lalu, diikuti dengan beredarnya kabar komunitas pendukung LGBT di kampus beberapa bulan yang lalu, dan sekarang UNDP menyiapkan dana yang tidak sedikit untuk mendukung LGBT di Indonesia, bisa disimpulkan bahwa propaganda LGBT di Indonesia semakin gencar terjadi.
Sebagai negara beragama, Indonesia tentu tidak bisa disamakan dengan negara-negara yang dibangun atas dasar asas keadilan atau brotherhood atau HAM seperti negara-negara Barat (yang kebanyakan mendukung LGBT). Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UUD’45 pasal 29). Indonesia mewajibkan setiap penduduk atau warga negaranya menganut satu agama atau kepercayaan. Di sisi lain, LGBT ditentang oleh nilai-nilai keagamaan. Oleh sebab itu, pada dasarnya pemerintah “tidak mendukung” LGBT namun tetap ingin melindungi hak-hak para LGBT. Namun, bagaimana bila kondisi yang terjadi di lapangan adalah sebuah promosi mengenai LGBT? Bukankah ini propaganda yang bisa mengancam identitas bangsa di masa yang akan datang?
LGBT, Ateis, dan (Pembenaran) Hak Asasi Manusia
LGBT tak jauh berbeda dengan Ateis. Pada dasarnya, setiap orang berhak menentukan pada dirinya sendiri apakah dia seorang yang mempercayai adanya Tuhan atau tidak mempercayai eksistensi dari Tuhan (Ateis). Seperti halnya ateis, LGBT adalah sebuah pilihan, yang diikuti sebuah sikap untuk menjalaninya. LGBT bisa disebabkan oleh faktor genetis, bisa juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau pengalaman kehidupan. Karena bertentangan dengan nilai agama, ateis maupun LGBT tentu tidak bisa dibenarkan. Namun, pemerintah tentu menjamin hak-hak asasi dari setiap kaum minoritas.
Yang menjadi permasalahan adalah ketika para kaum “minoritas” memperlihatkan dirinya secara blak-blakan di dalam kehidupan sosial, mempersuasi banyak orang dengan membentuk kegiatan atau kelompok pendukung hal-hal yang sebenarnya tidak didukung oleh negara, dan ditentang oleh agama. Ada sebuah pembenaran diri yang mengatasnamakan hak asasi manusia dalam hal ini. Bagaimanapun juga, konstitusi selalu berada di atas hak asasi manusia, karena pada dasarnya konstitusi disusun untuk menata kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara untuk setiap penduduknya.
Sebagai contoh, seorang beragama Non-muslim yang tinggal di Daerah Istimewa Aceh, haruslah tunduk kepada hukum yang berlaku di Aceh. Di Aceh, diberlakukan hukum Syariat Islam. Seseorang yang melakukan kesalahan atau melanggar hukum, akan dihukum sesuai dengan Syariat Islam. Seorang Katolik atau Protestan akan menjalani hukuman yang tidak ada dalam kepercayaannya karena dia hidup di teritori yang menerapkan hukuman berdasarkan agama Islam. Contoh yang lebih global, di Arab Saudi, seorang yang melakukan kejahatan seperti pembunuhan, akan dihukum pancung bila tidak dimaafkan oleh keluarga korbannya. Di Amerika, membunuh seorang polisi biasa bisa dikenakan tuntutan pembunuhan tingkat pertama, yang artinya hukuman mati. Di Indonesia, setiap orang wajib memiliki agama, negara tidak mengakui ateis (orang yang tidak beragama). Itu sebabnya, hak asasi manusia sebenarnya sudah diatur oleh setiap negara, yang sudah disesuaikan dengan budaya, landasan dan sejarah negara.
Bicara soal hak asasi sebagai pembenaran LGBT adalah sesuatu yang cukup menggelikan. Hukum di negara kita juga melegalkan hukuman mati bagi pelanggaran berat, yang mana dipandang melanggar hak asasi manusia. Itu sebabnya, LGBT pada dasarnya tidak bisa berpaku pada alasan hak asasi sebagai pembenaran “pilihan” mereka. Pemerintah sendiri sudah sangat “fair” dengan menyatakan melindungi hak-hak asasi LGBT, namun bukan berarti mendukung propaganda LGBT, karena bertentangan dengan konstitusi dan identitas negara beragama.
Identitas Bangsa Dipertaruhkan?
Inggris dan Amerika adalah dua negara besar yang pada masa lampau menentang LGBT. Faktor agama yang juga memenuhi sendi-sendi kehidupan sosial, budaya, dan politik membuat segala sesuatu yang berlawanan dengan ajaran agama sebagai sebuah pelanggaran hukum. Dan hukuman yang diberikan tidaklah ringan. Contohnya, ilmuwan Inggris, Alan Turing, memilih dikebiri secara kimia daripada dipenjara karena ketahuan homoseksual.
Pada Juli 2013, Inggris melegalkan LGBT. Amerika Serikat akhirnya melegalkan LGBT pada Juni 2015. Total, sudah puluhan negara melegalkan LGBT, kebanyakan berasal dari negara-negara Barat. Negara-negara yang memiliki sejarah agama yang panjang, masih bertahan dengan menolak LGBT. Sebagai contoh, negara-negara Arab yang kental dengan nilai-nilai Islam, atau Italia yang erat dengan nilai-nilai Katolik di dalamnya. Indonesia sebagai negara yang beragama, dan mengakui adanya Tuhan, sewajarnya untuk menolak segala hal yang bertentangan dengan nilai agama.
Namun kenyataan yang terjadi saat ini adalah semakin maraknya “propaganda” LGBT baik secara kelompok, komunitas ataupun perorangan. Secara kelompok, sudah dimulai dengan aksi berani “memperlihatkan diri” di Bundaran Hotel Indonesia pada pertengahan tahun lalu, diikuti komunitas pendukung LGBT di kampus, hingga tersiar kabar PBB mendukung LGBT di Indonesia. Secara individual, tidak sedikit pasangan gay atau lesbian yang mulai berani umbar “kemesraan” di depan publik, yang membuat tidak sedikit orang “risih”.
Tak ayal, tingginya perkembangan LGBT juga dipengaruhi oleh sikap pemerintah. Pemerintah tidak melarang LGBT, tidak membenarkan LGBT, Pemerintah hanya melindungi hak-hak asasi kaum minoritas seperti LGBT. Bahkan terkesan sepele, pemerintah lebih concern terkait problema-problema lain yang melanda negeri ini. Hal ini semakin digenapi pernyataan Menkopolhukam, Luhut Panjaitan yang mengungkapkan, bahwa LGBT adalah masalah pribadi, jangan dihebohkan. Beliau menambahkan tidak ingin keberadaan LGBT dibesar-besarkan. Bila ditelisik, isu LGBT tidak pernah dibesar-besarkan oleh media atau pihak penentangnya, namun fakta yang berbicara bahwa dari hari ke hari, propaganda LGBT semakin menjadi-jadi.
Bukan tidak mungkin Indonesia akan kehilangan Identitas sebagai negara beragama karena melegalkan LGBT di masa yang akan datang. Pemerintah memang wajib melindungi hak setiap warga negaranya, tetapi pemerintah juga berhak untuk melindungi identitas Indonesia sebagai negara beragama. Tak ayal, sikap pemerintah bisa dianggap paradoks, dan cepat atau lambat tanpa penanganan yang tepat, akan membuat kita jatuh dalam penyesalan besar di hari depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H