Mohon tunggu...
Daniel Oslanto
Daniel Oslanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Rasanya lebih sulit berganti klub kesayangan ketimbang berganti pasangan (Anekdot Sepakbola Eropa) - 190314

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kisah Perajut Mimpi di Usia yang Tak Lagi Dini

11 Februari 2016   18:27 Diperbarui: 11 Februari 2016   19:03 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jamie Vardy, 29, Merajut karir dari divisi bawah, hingga menjadi topskor sementara Liga Premier Inggris (Sun)"][/caption]

Karir seorang pesepakbola sangatlah singkat, mulai dari usia 18, memasuki masa emas (usia 27-31) hingga pensiun di umur 35-38 pada umumnya. Dengan masa kerja yang singkat, setiap pesepakbola selalu berusaha untuk tampil di level tertinggi semejak berusia muda. Namun, bagaimana dengan pesepakbola yang sudah mencapai usia emas dan masih bermain di kompetisi rendah? Apakah mereka akan menghabiskan waktu sebagai pesepakbola “gurem” hingga dia menggantungkan sepatu? Kemungkinan besar. Namun, ada segelumit pesepakbola biasa yang “tetap bermimpi” untuk menjadi yang terbaik, sekalipun telah memasuki usia emas. Mereka menjadi inspirasi kepada semua orang, bahwa tak ada yang tak mungkin selama masih berusaha untuk mewujudkan mimpi menjadi yang terbaik. Berikut 3 kisah pesepakbola yang menginspirasi.

Jamie Vardy (Leicester City) : Inspirasi Pesepakbola Amatir

Jamie Vardy menjadi buah bibir senatero Inggris sepanjang musim ini. Setelah berhasil mematahkan rekor mencetak gol dalam 10 partai beruntun di Liga Premier Inggris milik Ruud Van Nistelrooy dengan rentetan gol di sebelas partai beruntun, Jamie Vardy kembali menjadi perbincangan karena Leicester United menjadi kandidat juara Liga Inggris musim ini. Hal ini digenapi dengan torehan 18 miliknya saat ini, yang membuatnya memimpin daftar pencetak gol terbanyak. Tak ayal, meski tak lagi muda, penampilan sensasional Vardy diganjar kesempatan bermain untuk Timnas Inggris yang dilatih oleh Roy Hodgson.

Siapa sangka, Jamie Vardy yang baru saja berusia 29 tahun pada bulan lalu, lebih banyak menghabiskan waktunya bermain di divisi rendah Liga Inggris. Hanya dalam waktu 4 tahun, Vardy “melompat” dari bermain di kasta keenam Liga Inggris menuju Liga Premier. Kisah itu tentu bermula ketika lima tahun lalu, di musim 2010-2011, Vardy direkrut oleh FC Halifax Town yang bermain di Northen Premier League dengan biaya transfer £ 15,000. Di musim perdananya, Vardy bermain sebanyak 33 kali dengan torehan 24 gol. Di akhir musim, FC Halifax Town menjadi juara dan promosi ke Liga Conference North. Di musim berikutnya, Vardy baru melakoni emapt laga dengan torehan tiga gol, direkrut oleh Fleetwood Town yang bermain di Conference Premier (Kasta ke-5 di Liga Inggris) dengan mahar yang dirahasiakan. Di Conference Premier, Vardy mencetak 31 gol dari 36 penampilan. Torehan itu menjadikannya topskor di Conference Premier, sekaligus membawa Fleetwood menjadi juara di akhir musim.

Musim berikutnya, 2012-2013 menjadi titik awal perjalanan gemilan Vardy. Penampilan Vardy bersama Fleetwood Town mengundang ketertarikan dari Leicester City yang bermain di divisi Championship (Kasta kedua, dibawah Liga Premier Inggris). Dengan kucuran dana sebesar £ 1,7 juta, Vardy bergabung dengan klub yang bernaung di King Power Stadium. Pada musim perdananya, Vardy mencetak 4 gol dari 26 penampilan, yang mengundang kritikan dari suporter lokal pada media sosial. Tak ayal, Vardy mempertimbangkan hengkang dari Leicester sebelum akhirnya pelatih Leicester City, Nigel Pearson meyakinkannya untuk bertahan. Musim keduanya, Vardy menjadi protagonis bagi Leicester, mencetak 16 gol dari 37 pertandingan. Leicester mengakhiri kompetisi menjadi juara dan berhak atas tiket promosi ke Liga Premier. Musim lalu, Vardy hanya mencetak 5 gol dari dari 34 penampilan dan Leicester bergumul untuk terhindar dari degradasi. Musim ini, bagai cerita dongeng, Leicester menjadi pemuncak klasemen Liga Inggris dengan keunggulan lima poin dari pesaing terdekatnya, Tottenham. Vardy yang memimpin topskor sementara Liga Inggris, selalu membawa timnya menjadi juara apabila dia mengakhiri musim sebagai Topskor klub. Meski tidak lagi muda, kisah hidup Vardy dan perjuangannya menginspirasi banyak pemain-pemain di liga kasta rendah Inggris, agar tidak mengubur mimpi untuk bermain di level tertinggi sepakbola Inggris.

 

Carlos Bacca (AC. Milan) : Mimpi Terliar Sang Mantan Kondektur

Carlos Bacca menjadi salah satu nama yang diperbincangkan di awal musim ini. Dengan mahar € 30 juta, Bacca pindah dari Sevilla menuju salah satu klub elit Italia, AC. Milan. Berita ini menjadi heboh dikarenakan Milan sebenarnya mengincar rekan setimnya di Timnas Kolombia, Jackson Martinez. Namun di menit-menit terakhir, Milan memilih memboyong Bacca. Bacca membayar harganya dengan penampilan impresif bersama Milan, dengan 12 gol di Serie-A dan 3 di Coppa Italia sejauh ini. Dengan rasio konversi peluang lebih dari 60%, Bacca menjadi salah satu striker paling efektif dan mematikan di Serie-A.

Siapa sangka, meraih kesuksesan di usia yang tidak lagi muda seperti saat ini, Bacca menjalani kehidupan yang tidak mudah. Pada usia 20, Bacca hidup di desanya, Puerto Colombia, di tengah keluarga yang kekurangan. Jauh dari mudah, karena dia harus mengumpulkan tiket (kondektur) untuk menghasilkan uang. Jalan hidup sebagai pesepakbola menjadi sulit di usia itu, dan bukanlah sesuatu yang dapat diandalkannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada tahun itu, Bacca mencoba trial di klub Junior de Barraquilla, dan untungnya dia lolos. Meskipun demikian, Bacca baru merasakan kehidupan sepakbola profesional ketika usianya menginjak 23 tahun. Bermain di Atletico Junior, Bacca mencetak 12 gol di Liga Categori A, dan menjadi topskor di Copa Kolombia dengan 12 gol. Di dua musim berikutnya, Bacca menjadi topskor Liga Categori A dengan torehan 18 dan 20 gol, membawa Atletico Junior mengakhiri musim tersebut dengan gelar keenam dan ketujuh Liga Categori A.

[caption caption="Carlos Bacca, 29, sempat menjadi kondektur sebelum menjadi pesepakbola (blogspot)"]

[/caption]

Seperti halnya pesepakbola Amerika Latin, Bacca juga memiliki impian untuk bermain di Eropa. Penampilannya mengundang ketertarikan dari beberapa klub seperti Lokomotiv Moskow dan Chievo Verona, namun kepindahannya tak pernah terjadi. Pada 2011, Club Brugge, klub asal Belgia datang memberikan tawaran € 1,5 juta untuk memboyong Bacca. Bacca bergabung dengan ikatan kontrak selama tiga tahun. Bacca hanya bermain 10 laga, dan mencetak 3 gol di musim perdananya. Di musim selanjutnya, bersama pelatih baru, Bacca meraih kesempatan lebih banyak, yang tidak disia-siakan olehnya. Bacca mencetak 25 gol dari 35 pertandingan di Liga Belgia, menjadikannya pemain terbaik liga Belgia sekaligus pencetak gol terbanyak. Pada pertengahan 2013, Bacca pindah ke Sevilla dengan banderol € 7 juta dan dikontrak selama 5 musim. Pada musim perdananya, Bacca berhasil membawa Sevilla menjadi juara Liga Europa dengan sumbangsih 7 gol. Di Liga Spanyol, Bacca mencetak 14 gol. Pada musim lalu, yang merupakan musim keduanya, Bacca memperlihatkan ketajamannya dengan menorehkan 20 gol di La Liga Spanyol, dan 7 golnya di Liga Europa kembali membawa Sevilla menjadi juara sebelum pindah pada musim selanjutnya ke Milan.

Dalam sebuah kesempatan wawancara, Bacca mengungkapkan bahwa dia menyesal mengingat kisahnya di masa lalu. Kehidupan yang sulit semasa anak-anak membuatnya mencari uang. “Aku berpikir, inilah jalanku, ternyata aku salah.” Ungkap Bacca. Dan dia melihat sekarang “Aku bangkit dan melanjutkan hidup. Keberanian bukanlah milik mereka yang membiarkan dirinya tenggelam, tetapi yang bangkit lebih kuat dari sebelumnya.”

Luca Toni (Hellas Verona): Revenant di Ujung Senja

Dari sekian nama pesepakbola yang memberikan inspirasi, saya memilih nama Luca Toni menjadi pesepakbola dengan kisah yang paling menginspirasi. Luca Toni,38, adalah seorang pesepakbola yang berposisi sebagai penyerang di klub Hellas Verona (Italia). Di awal karirnya, dia menghabiskan waktu bermain di kasta kedua dan ketiga Liga Italia bersama Modena, Empoli, Fiorenzuola, Lodigiani, Treviso, Vicenza, Brescia. Pada tahun 2003, di usia 26 tahun, Toni bergabung dengan Palermo, klub Serie-B (Kasta kedua Liga Italia). Pada musim ini, Palermo berhasil promosi ke Serie-A berkat torehan gol Toni sebanyak 30 gol. Torehan ini memulai kisah fantastis Toni sebagai pencetak gol ulung. Bermain bersama Palermo di Serie-A, Toni berhasil mencetak 20 gol di Serie-A. Berkat gol Toni, Palermo duduk di posisi ke-6 klasemen akhir Serie-A, sekaligus mencetak sejarah bermain di kompetisi Eropa untuk pertama kalinya di musim berikutnya. Pada musim 2004-2005, Toni pindah ke Fiorentina dengan banderol € 10 juta. Di musim perdananya bersama Fiorentina, Toni mencetak 31 gol di Serie-A dan mengakhiri musim sebagai Topskor Liga Italia. Fiorentina lolos ke Liga Champion setelah duduk di posisi keempat, dan Toni juga meraih sepatu emas Eropa. Kisahnya semakin sempurna dikala Toni berhasil membawa Timnas Italia menjadi juara dunia di Jerman.

Pada musim keduanya di Fiorentina, Toni diganggu oleh cedera, sehingga “hanya bisa” mencetak 16 gol di Serie-A. Toni berjanji kepada fans tidak akan pindah ke klub elit Italia, yang membuatnya menerima pinangan Bayern Munich pada 2007. Munich harus membayar transfer senilai € 11,58 juta. Toni membayar banderolnya dengan performa ciamik di semua kompetisi. Toni menjadi topskor dengan 24 gol dan membawa Bayern menjadi juara Bundesliga. Dua golnya di final DFB Pokal membawa Muenchen memenangi Piala Liga Jerman atas Borussia Dortmund dengan skor 2-1. Di ajang Piala UEFA, Toni menjadi topskor bersama striker Zenit, Pavel Pgrebnyak dengan torehan 10 gol Total, Toni mencetak 39 go dan 12 assist dalam 42 laga. Di musim keduanya, Toni tetap memainkan standard tinggi. Toni mencetak 9 gol dari 13 partai awal Bundesliga, sebelum cedera Achilles Tendon menganggu performanya. Toni mengakhiri musim dengan 14 gol. Musim berikutnya menjadi akhir  bagi Toni di Bayern. Louis Van Gaal, pelatih Bayern menginginkan tipe striker lain. Toni hanya bermain 10 laga, dan pada Januari 2010, Toni dipinjamkan ke Roma. Kembali ke Bayern setelah dipinjamkan ke Roma, Toni dipersilahkan mencari klub baru. Toni bergabung dengan Genoa (2010), Juventus (2011), Al Nasr (Januari 2012) namun gagal mengembalikan performanya. Pada Agustus 2012, Toni pulang ke Fiorentina, menghabiskan semusim disana dengan mencetak 8 gol dari 27 pertandingan.

[caption caption="Luca Toni, 38, bangkit dan bersinar kembali setelah bergumul dari cedera panjang (blogspot)"]

[/caption]

Pada musim 2013-2014, Toni “bangkit dari kematian”. Bergabung dengan klub promosi, Hellas Verona, Toni kembali menjadi ancaman di Serie-A. Pada musim perdananya di Hellas Verona, Toni, yang berusia 37 tahun, berhasil menorehkan 20 gol dari 34 pertandingan di Serie-A. Pada musim lalu, 2013-2014, Toni mencetak 22 gol dari 38 pertandingan, yang menjadikannya Topskorer Liga Italia bersama dengan Mauro Icardi (Inter Milan). Toni menjadi pemain tertua (38 tahun) yang menjadi Topskor di Liga Italia. Toni is revenant (orang yang kembali dari kematian), menuju pensiunnya.

Vardy, Bacca, Toni adalah tiga nama yang memulai kisah eksepsionalnya dari pergumulan yang luar biasa. Mereka bukanlah wonderkid semasa muda, harus memulai jalan sepakbola dari titik bawah, dikenal di usia emas, dibarengi dengan usaha dan keyakinan, mereka meraih mimpi-mimpi setiap pesepakbola.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun