Mohon tunggu...
Daniel Oslanto
Daniel Oslanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Rasanya lebih sulit berganti klub kesayangan ketimbang berganti pasangan (Anekdot Sepakbola Eropa) - 190314

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Sepakbola Bukanlah Sepakbola (Lagi)

19 Februari 2014   23:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:40 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Melalui Sepakbola, Mandela menghapus Politik Apartheid. Bagaimanapun Afsel tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sepakbola. Credit: Liverpool Echo)

Sepakbola Bukanlah Sepakbola (Lagi)

Saya baru saja membaca sebuah artikel yang dibuat oleh akun Twitter @vetriciawizach yang berjudul : Sepakbola Tak Lebih Penting dari Sekolah dan Rumah Sakit (baca: http://www.panditfootball.com/sepakbola-tak-lebih-penting-dari-sekolah-dan-rumah-sakit/). Sebuah artikel yang sangat menarik, dan cukup membuka pengetahuan mengenai bagaimana pandangan lain terhadap sepakbola. Sebuah artikel yang membahas mengenai mirisnya hingar bingar persiapan Piala Dunia 2014 yang diusahakan sebaik mungkin dengan pembangunan stadion megah, namun seolah mengabaikan fasilitas publik yang belum juga memadai seperti sekolah dan rumah sakit.

Ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya menganggap sepakbola sebuah hiburan dan olahraga yang menyenangkan. Sebuah permainan sebelas melawan sebelas di lapangan, yang menjunjung tinggi semangat kompetisi dan memperlihatkan kemampuan memainkan si kulit bundar. Tayangan Sepakbola bagi saya sendiri adalah sebuah hiburan yang jauh lebih menarik ketimbang acara serial di televisi. Bagi saya sepakbola adalah sebuah olahraga yang tidak sekedar olahraga, namun sudah berkembang dalam banyak aspek kehidupan. So, apakah benar Sepakbola tak lebih penting dari sekolah dan rumah sakit?

Pada 2012, Brazil menjadi negara ekonomi terbesar keenam di dunia, menggeser posisi Inggris. Sebuah prestasi yang sangat mencengangkantentunya. Pertumbuhan ekonomi mencapai 2,7 %. Ekonomi Brazil yang meningkat berimbas kepada banyak hal, termasuk ke pada dunia sepakbolanya. Liga Brazil tidak lagi sekedar kawah candradimuka untuk para atlet si kulit bundar, namun bisa jadi pilihan menarik untuk menghabiskan karir. Klub Brazil tidak lagi kesulitan untuk membayar pesepakbola dengan gaji yang tinggi. Contoh teranyar adalah bertahannya Neymar dan Ganso, dua nama yang sempat melejit melalui penampilannya di Copa America Brazil pada tahun 2011. Neymar akhirnya meninggalkan Brazil pada 2013, dua tahun setelahnya, dan Ganso memilih pindah ke Sao Paulo dengan nilai transfer mencapai 27 juta euro, sebuah transfer besar bagi sebuah klub Liga Brazil. Perekonomian Brazil yang semakin membaik tentunya menjadi alasan kenapa sepakbola Brazil mampu bersikap “jual mahal” kepada tawaran-tawaran dari klub Eropa yang dianggap menggelikan.

[caption id="" align="aligncenter" width="855" caption=" (Perekonomian yang baik di Brazil mampu membuat Neymar dan Ganso bertahan lebih lama di Liga Brazil. Credit : Blogger)"][/caption]

Pada artikel yang ditulis oleh @vetriciawizach, diungkapkan bahwa ada saat ini sekitar 40 juta dari 197 juta penduduk yang berstatus miskin. Tapi pada faktanya, sebagian besar orang miskin di Brazil memilih sepakbola sebagai jalan hidup mereka. Dimulai dari sepakbola jalanan, mereka bisa memulai karir dan di usia-15 sudah bisa bergabung dengan klub lokal dan mendapatkan bayaran yang pantas. Sebagian besar mereka memilih untuk besar di jalanan ketimbang menghabiskan waktu mereka duduk di sekolahan. Dengan menjadi pesepakbola di Liga domestik Brazil, mereka bisa menghasilkan ribuan hingga ratusan ribu dollar per tahun, hampir sama dengan pendapatan seorang programmer di salah satu perusahaan IT terbesar di dunia. Terlebih bila memiliki kualitas diatas rata-rata, gerbang menuju pintu Eropa akan terbuka dengan lebar.

[caption id="" align="aligncenter" width="960" caption=" (Rafinha (Vasco da Gama) mendapat bayaran yang cukup mahal untuk bermain di Liga Brazil. Credit : Kanalbola)"]

[/caption]

Pagelaran Piala Dunia 2014 di Brazil bukan semata sebagai ajang untuk menggelar event paling bergengsi di dunia sepakbola, namun juga dipakai sebagai wahana untuk mempromosikan Brazil. Sebagai salah satu negara yang memiliki iklim ekonomi dan investasi yang sangat baik, mempromosikan Brazil lewat Piala Dunia tentunya sangat bagus. Melalui Piala Dunia, Brazil bisa memperlihatkan bahwa negara ini adalah negara yang aman, bersahabat dan menjanjikan. Pagelaran Piala Dunia sendiri memang tidak sembarangan, karena menuntut syarat infrastruktur yang memadai, dimulai dari Stadion, fasilitas Publik seperti transportasi, akomodasi, hingga layanan kesehatan. Memang, Brazil menghabiskan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan pembangunan Stadion, yang mungkin dianggap sebagian pihak sebagai sebuah pemborosan (atau lebih baik membangun sekolah dan rumah sakit), namun tanpa adanya Stadion itu, Piala Dunia akan urung dilaksanakan, dan tujuan lain Brazil akan hilang.

Akan sangat ironis membayangkan ratusan ribu orang berdemo karena pembangunan Stadion yang boros demi Piala Dunia, namun jutaan rakyat Brazil menggantungkan hidup dari sepakbola dan pagelaran Piala Dunia seperti groundsman (tukang beberes rumput stadion), pengurus stadion, pihak perhotelan, hingga pekerja seks komersial yang ikut kecipratan untung dengan adanya Piala Dunia. Demikian halnya dengan pemain sepakbola beserta kru dibaliknya, mulai dari jasa keamanan/ kepolisian hingga pihak wartawan/media.

[caption id="" align="aligncenter" width="630" caption=" (Ratusan ribu orang berdemo karena pembangunan Stadion yang boros demi Piala Dunia, namun jutaan rakyat Brazil menggantungkan hidup dari sepakbola. Credit : Lensa Indonesia)"]

[/caption]

Beranjak ke kondisi Stadion Afsel yang tidak terisi setelah pagelaran Piala Dunia 2010 selesai. Sebagian mungkin menganggap bahwa Piala Dunia Afsel 2010 meninggalkan masalah baru dimana tingkat kemiskinan yang tinggi ada di antara stadion stadion megah yang nyaris tidak digunakan. Biaya pembangunan stadion yang mahal, namun tidak memiliki fungsi berarti setelah pagelaran piala dunia, memang sekilas miris terdengar. Namun, kita tidak boleh melupakan sejarah bagaimana Politik Apartheid melukai negara ini dengan sangat mendalam. Sebuah dikriminasi ras membawa negara ini kepada ketidakstabilan politik dan keamanan. Nelson Mandela, yang akhirnya menjadi tokoh penting dalam revolusi menentang politik Apartheid melalui sepakbola. Sebagian boleh berkilah bahwa pembangunan Stadion di Afsel itu hanya membuang anggaran saja, namun tidak etis bila kita melupakan bahwa negara ini berhasil keluar dari diskriminasi ras, salah satunya melalui sepakbola. Sejarah negara ini tidak akan pernah lepas dari sepakbola, yang menjadi bahasa yang mempersatukan mereka semua di dalam bendera Afrika Selatan.

[caption id="" align="aligncenter" width="510" caption="(Melalui Sepakbola, Mandela menghapus Politik Apartheid. Bagaimanapun Afsel tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sepakbola. Credit: Liverpool Echo)"]

[/caption]

Sepakbola tak lebih penting dari rumah sakit dan Sekolah? Setiap orang pasti punya jawaban yang bervariasi. Namun, bila kita menanyakannya kepada penduduk Italia yang gemar menonton sepakbola ke Stadion setelah mengikuti Ibadah di gereja pada hari minggunya, atau bertanya kepada publik Inggris yang begitu terkenal dengan sepakbolanya, atau kepada publik German yang begitu getol dalam mendukung tim kesayangannya, mungkin kita bisa mendapat gambaran seberapa vital peranan sepakbola bagi kehidupan mereka. Bagi para pemain sepakbola dari “negara kedua” semisal Afrika, contoh Samuel Eto’o, Michael Essien, Gervinho, Yaya Toure, Kolo Toure, dan ratusan ribu pesepakbola asal Afrika yang mencoba meraih peruntungan dan kehidupan layak di Eropa, sepakbola adalah segalanya bagi mereka. Bagi para pemain sepakbola, tim medis sepakbola, tim maintenance stadion, groundsman, hingga para peliput berita sepakbola, sepakbola adalah segalanya.

[caption id="" align="aligncenter" width="468" caption="(Sepakbola melebihi apapun bagi Yaya Toure, dan rekannya dari Afrika yang berhasil menembus sepakbola Eropa. Credit : Daily Mail)"]

[/caption]

Kemudian saya berpikir sejenak, dan akhirnya saya bisa memahami bahwa hidup saya tidak akan semenarik ini bilamana saya tidak mencintai sepakbola. Sepakbola adalah bagian yang vital bagi saya, meskipun hanya sebatas sebagai hiburan saja. Setiap kali Firman Utina dkk berlaga di Gelora Bung Karno, puluhan ribu orang akan setia datang ke sana untuk memberikan dukungan, jutaan mata tidak akan melewatkan pertandingan tersebut dari layar kaca. Ribuan akan berteriak teriak sambil mengecat tubuhnya dengan warna merah putih. Dan semua bernyanyi “Indonesia Raya, merdeka merdeka, tanahku negriku yang kucinta, Indonesia Raya merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia Raya...” penuh kebanggaan, saat lagu kebangsaan dikumandangkan. Jauh lebih khimat dan menggetarkan jiwa daripada saat Upacara bendera yang setiap senin saya lakoni semasa sekolah. Ya semua ini saya temukan dalam sepakbola. Sepakbola bukan lagi sekedar sepakbola, sekedar olahraga, sebuah permainan sebelas lawan sebelas di lapangan. Sepakbola juga sebuah industri bagi jutaan orang, sebuah hiburan bagi milyaran orang, sebuah harapan dan sebuah bahasa pemersatu bagi seluruh dunia.

Ya, Sepakbola bukanlah Sepakbola (Lagi).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun