Sejak awal tahun 2016, berita Indonesia diwarnai berbagai macam berita dan cerita, tapi kayaknya yang paling heboh adalah kasus kopi yang diduga bersianida. Saya sendiri enggak begitu tertarik pada kasus ini sampai ketika mencapai sidang ke-18 yang diadakan tanggal 5 September 2016, sewaktu pihak terdakwa mendapat giliran mengajukan saksi-saksi ahli yang bisa meringankan tuduhan terhadapnya. Mulai dari Mr. Beng Beng Ong, Pak Djaja Surya Atmadja dan sederet nama ahli sesuai bidang masing-masing.
Semua sidang ditayangkan secara live di TV One. Kadang sampai jam 1 WITA, kadang lebih cepat. Saya pikir apaan sih ini. Buset, seharian sidang? Gak sakit kepala tuh nyimak orang bicara seharian?Â
Saya tertarik dengan kasus ini setelah menyimak sidang ke-18. Serasa dapat kuliah ilmu toksikologi. Apalagi sewaktu pihak terdakwa menghadirkan Dr. Djaja Surya Atmadja. Wuah, keren, salut, Indonesia punya orang sehebat ini! Saya punya kawan dokter forensik juga, dan sering ngobrol sama dia tentang masalah forensik. Kawan saya sendiri gak menyimak kasus ini karena sibuk.Â
Sudah, sejak saat itu, saya jadi rajin mantengin ini sidang. Kadang geli juga dengan pertanyaan dan jawaban yang diajukan, ikut merasa panas hati dan terharu juga. Campur aduk.
Saya gak akan bahas kasus dari awal karena saya yakin sudah banyak kompasianer dan orang di luar sana yang menulis pendapat mereka tentang kasus ini. Meskipun begitu, saya merasa geli membaca berbagai opini dan heran kenapa orang stuck pada sianida dan Jessica sebagai tersangka. Begini, saya mencoba mencari sumber awal yang menyebutkan korban menelan sianida yang dicampur ke dalam kopi, dan saya ingin tahu siapa yang pertama kali menyatakan racun yang digunakan adalah sianida. Sayangnya, artikel online simpang siur, sebagian besar bias. Dan belum ada sumber yang menulis rincian kronologi sidang pertama sampai sidang terakhir.
Pada saat saya menulis artikel ini, sidang sudah mencapai kedua puluh enam. Menurut jadwal rencana, Rabu besok adalah pembacaan keputusan atau semacam itu. Saya kurang paham. Terus terang gak peduli juga. Saya sedikit frustrasi melihat jalannya persidangan, penyelidikan dan membaca sekian banyak komentar terkait kasus. Biasalah, ada aja pihak yang pro, kontra dan netral.
Sejak dulu, saya gemar menonton Homicide Hunter. Dalam program itu, Lt. Joe Kenda, seorang pensiunan detektif bagian pembunuhan menceritakan kembali kisah-kisah pembunuhan yang pernah dia pecahkan selama berkarir. Jumlahnya enggak main-main, nyaris 400 kasus. Dari penuturan dia, saya belajar banyak sekali. Dia hebat, menurut penilaian saya. Body Of Proof, CSI, mungkin juga bagus. Tapi Homicide Hunter punya pesona tersendiri karena diangkat dari kisah nyata.
Saya juga hobi membaca novel-novel yang menceritakan proses sidang di pengadilan Amerika. Gara-gara itu, logika kriminal saya jadi jalan.
Terkait dengan logika kriminal saya, saya tertarik untuk mengulas kasus kopi yang diduga bersianida ini dengan gaya Joe Kenda. Maksudnya, dia suka mundur ke alur waktu di saat kejadian pembunuhan belum terjadi. Semua orang stuck pada frame sianida dan Jessica. Bahkan meskipun sudah ada uji coba dan bantahan dari pada ahli, tetap saja stuck yang dibahas adala cara kerja sianida setelah tertelan. Heboh! Ada yang ngajakin nobar. Ada yang bilang sinetron. Sampai-sampai kita gak peduli sama masalah debat capres Amerika. Ah, who cares? Nonton sidang kopi sianida dulu.Â
Ah sudahlah. Saya pening. Begitu banyak twists and turns. Pihak korban menyerang pihak terdakwa, pihak terdakwa balik bertahan. Apaan ini? Lalu media massa dan penegak hukum memperkeruh suasana. Ada yang bilang ini bukan pembunuhan. Jessica tidak bersalah. Pelakunya orang lain. Oke, oke.
Begini. Kalo ini bukan pembunuhan, hei, di sini ada orang mati lho. Ada tiga kemungkinan --> mati alami (komplikasi penyakit), bunuh diri dan pembunuhan. Kasus jadi ruwet karena otopsi tidak sesuai prosedur.Â