Mohon tunggu...
Oshie Leslie
Oshie Leslie Mohon Tunggu... profesional -

Saya seorang pemerhati budaya dan penulis fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Losmen Kayon Surabaya, di Mana Gerangan Dirimu?

8 Mei 2016   09:26 Diperbarui: 8 Mei 2016   09:42 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nah, itu dia--pemerintah kota Surabaya. Saya sampai bingung kalau walikota Surabaya dikatakan berhasil membangun Surabaya, di bagian mana? Jelas bukan di bagian Jalan Kayun. Jelas bukan terhadap bangunan peninggalan jaman kolonial. Jangankan bangunan yang dimiliki perorangan, lha BCB punya salah satu pahlawan Surabaya saja bisa dirobohkan sementara pemerintahan kota mengaku tidak tahu! Kok bisa???? Sebuah bangunan berstatus Cagar Budaya, dijual seharga 17 M dan dihancurkan sampai rata dengan tanah, pemkot gak tau? Kok bisa???????

Lha kalo Cagar Budaya aja bisa dihancurkan, kemungkinan besar Losmen Kayun sudah lama jadi almarhum. Mungkin gak lama setelah mahasiswa saya memotretnya, lalu bangunan itu dijual kepada orang lain dan dihancurkan juga. Hantu-hantunya lantas pada pindah. Pemerintah kota gak peduli sih. Yang digusur hanya Doli. Maaf. Saya tidak terlalu terkesan dengan prestasi satu ini. Memang kita layak memerangi perzinaan, sebagai sesama muslim, tapi ibu itu tau gak tau, bahwa prostitusi adalah profesi tertua di dunia, yang sudah muncul hampir bersamaan dengan makhluk manusia ada di muka Bumi ini? Artinya, sepanjang masih ada permintaan, barang tetap akan disediakan. 

Ah, tapi mungkin ibu itu gak terlalu peduli sama sejarah. Toh Cagar Budaya saja tidak diperhatikan. Malah sekarang dia sibuk mengomentari cara kerja pemimpin daerah lain, yang skalanya antara kota banding provinsi. Haha, Bu, begitu gubernur itu membongkar slum pasar ikan, rasanya seolah bangunan tua di samping pasar ikan itu muncul dari tanah. Padahal sebenarnya sudah ada di sana. Hanya tidak terlihat saja, gara-gara tenggelam oleh kawasan kumuh. Saya langsung terpaku dengan bangunan itu. OH, APA ITU? Bangunan kolonial! Siapa dia? Apa namanya? Kok bisa ada bangunan keren di tengah sampah kota?

Rupanya si Museum Bahari, museum yang mungkin sudah enggak pernah dilihat lagi oleh gubernur lainnya sebelum kawasan itu dibongkar. Keren!!! Masih asli! Dindingnya putih, atapnya yang khas. Atap kayak gitu gak dijual di kota saya sih. Ada jangkar di depan gerbangnya! Asli gak ya? Ooooooohhhh, pengen sekali saya ke sana! Please somebody send me there!!

Wah saya gak peduli dengan komentar para pembenci gubernur itu. Tadinya saya juga jijik sama Jakarta. Kalau Jakarta bukan sebagai kota di mana kantor pusat seluruh perusahaan di Indonesia berada, barangkali sudah lama saya coret nama kota itu dari kepala saya. Jorok, macet, banjir, kriminal, itulah kesan saya tentang ibukota negara ini. Tapi barangkali setelah Museum Bahari muncul dari timbunan slum, saya berpikir Jakarta mungkin bisa jadi salah satu tujuan wisata saya. Wisata Bangunan Kolonial. Terserah dengan timbunan dan lapisan debu, koleksi museum yang menyedihkan, atau hantu-hantunya, saya pokoknya pengen datang ke sana. Heran saya, orang-orang yang berada dan hidup di sekitar bangunan itu--kenapa mereka gak sadar bahwa mereka bekerja dan hidup di daerah terindah sebuah kota?

Air mata saya untuk almarhum Losmen Kayun dan kenangan tentangnya.

Mei, 2016. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun