Mohon tunggu...
Oshie Leslie
Oshie Leslie Mohon Tunggu... profesional -

Saya seorang pemerhati budaya dan penulis fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Losmen Kayon Surabaya, di Mana Gerangan Dirimu?

8 Mei 2016   09:26 Diperbarui: 8 Mei 2016   09:42 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belakangan ini sedang ribut mengenai perobohan bangunan yang dulu jadi saksi perjuangan Bung Tomo dan kawan-kawannya Belanda di Surabaya. Bangunan itu sudah diberi plakat permanen yang menjadi tanda bangunan diakui sebagai Bangunan Cagar Budaya atau BCB. Plakat itu pernah dipotret, ada di sisi bangunan. Tapi rupanya plakatnya juga sudah dihancurkan.

Saya mendadak ingat sebuah bangunan kolonial di Jalan Kayun. Akhir tahun 80-an, kami pernah nginap di sana. Namanya dulu Losmen Kayun. Kami naik Bouraq jam 12 malam dari Balikpapan. Tiba di Surabaya dalam kondisi lelah, penat, lapar dan mengantuk. Oleh si sopir taksi, kami diantarkan ke Losmen Kayun.

Bangunannya khas bangunan Belanda, dengan anak tangga di depan pintu masuk, lalu ruang depan dengan beberapa pintu di setiap sisi ruangan. Kamar kami di ruangan sebelah kiri. Jendelanya hanya satu, tinggi besar, masih dengan daun kayu dua tingkat. Lantainya masih tegel abu-abu tebal yang berdebu. Suram adalah kesan saya kalau ingat Losmen Kayun. Khas bangunan tua yang dirawat setengah hati dengan biaya seadanya. Daripada dianggurkan, lebih baik dibuat jadi penginapan murahan.

Begitulah!

Sebagai anak sekolah dasar, sebuah bangunan hanya sekedar bangunan bagi saya. Kamar mandinya berhantu pula. Lagi-lagi, khas bangunan tua hahaha. Kami menginap dua malam di sana. Lalu check out sehabis subuh, jalan kaki menuju Jalan Pemuda ke Stasiun Gubeng. 

Ada insiden kecil selagi kami menginap di sana. Daun jendela kayu yang berat itu membuka lebih daripada seharusnya. Kami gak bisa menutupnya. Padahal tempat tidur saya tepat di bawah jendela, dan saya punya penyakit bronkhitis. Kami mencoba menarik daun jendela dari dalam. Itu jendela dengan jeruji besi. Gagal. Si pemilik mencoba mendorong daun jendela dari luar bangunan dengan kayu. Tapi kayu yang dipakainya kurang panjang. Di bagian luar jendela itu ada pagar teralis besi, jadi orang gak bisa mendekati bangunan. Kami pasrah tidur dengan jendela terbuka. Tapi lalu entah bagaimana kami melakukan usaha terakhir dan berhasil. Saya gak mungkin lupa kejadian itu.

Sewaktu kuliah, kecintaan saya terhadap bangunan kolonial tumbuh dan bertahan. Saya suka sekali jalan jalan di daerah tua Jogja dan Magelang, karena penuh bangunan kolonial. Saya suka sekali melihat bentuk atapnya yang khas, jendelanya, kanopinya, terasnya, pintunya, halamannya yang luas, dinding yang putih. Semuanya! Walaupun kadang-kadang jendelanya sudah ompong dimakan usia, bagi saya bangunan itu tetap indah. Saya punya kesempatan main ke Bandung, di mana kami diantar seorang kawan ke Heritage--sebuah toko butik. Heritage memakai salah satu BCB. Saya rela tinggal di sana sepanjang hari hanya untuk menikmati bangunan itu. Tapi mana mungkin kan? Saya heran mengamati para pengunjung lain yang kebanyakan sibuk dengan baju-baju yang dipajang. Bagaimana bisa mereka berada di salah satu bangunan yang indah tapi mereka gak sadar itu???? Kalau saya bisa bekerja di salah satu BCB, saya pasti jadi orang paling bahagia di dunia, gak sabar menunggu datangnya hari Senin, karena itu berarti saya bisa berjumpa lagi dengan si bangunan tua. Bekerja di bank? Di hotel modern? Bandara terbaru? Oh no no no no no no. Saya ini pecinta gedung jaman penjajahan. Saya ingin sekali bekerja di musium, atau di mana pun asalkan itu di bangunan kolonial. Peduli amat dengan hantu-hantunya.

Beberapa tahun lalu, saya minta salah satu mahasiswa yang asli dari Surabaya untuk mencarikan dan memotretkan Losmen Kayun. Dia melakukannya. Dia menemukannya. Dia memotretnya. Hasilnya agak kabur, sepertinya diambil dari atas kendaraan yang sedang melaju. Tapi bagian depannya masih sama. Beberapa anak tangga di depan pintu, tepat dari trotoar. Lalu jendela besar yang bikin kenangan spesial itu.

Oooh, Losmen Kayun! Kangen saya melihat dirimu! Saking kangennya sampai mata saya berkaca-kaca. Kamu masih ada, itu pikir saya. Masih di sana. Memang sudah bukan sebagai Losmen Kayun lagi. Sudah jadi bangunan entah warnet atau apa--saya kurang yakin. Bagian depannya sedikit tertutup spanduk dan banner buruk rupa. Tapi bangunannya masih sama.

Baru-baru ini saya dan bapak saya mencoba jalan-jalan di Jalan Kayun dengan bantuan google map. Kami gagal menemukan Losmen Kayun. Mengecewakan. Bapak saya masih ingat di sebelah sisi mana Jalan Kayun bangunan itu terletak. Tapi kami gagal menemukan bangunan itu. Sebaliknya, penuh bangunan modern. Makin jauh menyusuri Jalan Kayun, bangunan modern habis berganti gubuk-gubuk para penjual tanaman hias. Begitu terus sampai di perempatan di depan jalan. Malah makin buruk lagi. Kotor, lusuh, jorok. Itulah Jalan Kayun.

Kata bapak saya, dulu jalanan itu penuh bangunan kolonial. Satu-satunya bangunan kolonial yang kami temukan ada di pertigaan Jl. Embong Kenongo. Itu pun bagian depannya sudah ditambahi atap yang dibuat tanpa estetika. Kekhasan bangunan kolonialnya hanya dikenali dari bagian sampingnya yang menghadap Jl. Embong Kenongo. Saya yakin sebentar lagi bangunan itu bakal dijual ke orang berduit yang lalu memugarnya dan mendirikan bangunan modern lain kecuali pemerintah kota melakukan sesuatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun