Saya barusan nonton film Into The Wild, kisah yang diangkat dari buku berjudul sama, kisah nyata tentang seorang pemuda bernama Christopher McCandless yang memutuskan untuk pergi dari rumah dan hidup di alam liar. Singkatnya, dia ingin melakukan 'sesuatu' yang drastis dalam hidupnya, semacam menemukan arti kebahagiaan. Ternyata dia menyadari alam itu lebih keras dan kejam dari yang dia bayangkan. Ketika dia menyadari bahwa kebahagiaan itu berarti jika dibagi dengan orang yang dia cintai, dia ingin kembali ke keluarganya. Sebelum dia bisa melakukan itu, persediaan makanannya menipis, dia terjebak di alam liar dan dalam keadaan putus asa, salah mengidentifikasi jenis tanaman liar untuk dia makan. Akibatnya dia keracunan, dan setelah bertahan selama lebih dari tiga bulan, akhirnya badannya menyerah.
Cerita yang tragis. Tapi saya tidak akan membahas kisah itu. Yang menjadi fokus saya dari film itu adalah kesalahan fatal yang menyebabkan McCandless kehilangan kesempatan untuk bertahan di alam liar.
Dalam dunia biologi, ada istilah yang dikenal oleh para ahli biologi dengan sebutan mimicry. Saya senang sekali mengeluarkan istilah ini di kelas bahasa Inggris dan menguji cara murid membacanya, saya selalu tersenyum. Mereka membaca mimicry dengan membunyikan -cry sama seperti cry menangis. Padahal tidak.
Singkatnya, mimicry adalah imitasi atau peniruan. Kita mengenali mimicry seperti bunglon yang mengubah warnanya serupa dengan lingkungan di sekitarnya, atau serangga yang bentuk dan warnanya mirip dengan daun habitat hidupnya. Apa pun peniruan itu, tujuannya adalah pertahanan terhadap predator mereka.
Selain bentuk yang kita kenal di atas, ada juga teknik mimicry yang lebih keren. Teknik ini butuh model (model) dan peniru (mimic). Si peniru adalah jenis yang enak untuk dimakan dan model adalah jenis yang tak enak untuk dimakan. Peniru akan mengambil salah satu unsur yang dimiliki model yang paling mudah ditirunya, misalnya warna, bentuk sengat atau bunyi.
Sebut saja jenis kupu-kupu Viceroy dan kupu-kupu Monarch. Kupu-kupu Monarch adalah model. Dia memiliki darah yang pahit dan beracun. Sedangkan Viceroy bisa dimakan. Untuk menghindari predator, Viceroy meniru pewarnaan Monarch. Bagi manusia, perbedaan motif bisa terlihat. Tapi si burung predator tak mau repot-repot memperhatikan motif sayap dan memutuskan mana Viceroy mana Monarch. Cukup mencicipi salah satu saja, maka si predator akan belajar menghindari semuanya.
Â
Teknik yang sama juga digunakan oleh lebah bunga (hoverfly) terhadap lebah (bee) dan tawon (wasp). Hoverfly meniru bee atau wasp karena dalam proses evolusi, hoverfly belajar bahwa predator tahu bee dan wasp punya sengat yang menyakitkan. Hoverfly tidak. Tapi karena warnanya mirip, secara otomatis predator juga menghindari hoverfly.
Moral cerita itu, alam jauh lebih tangguh dari yang kita kira. Kita hanya unggul karena bantuan teknologi yang kita ciptakan dan tanpa kita sadari bergantung nyaris sepenuhnya pada teknologi. Tapi dalam kisah McCandless ini, teknologi dan informasi ternyata tidak banyak bisa membantunya.
Semoga bermanfaat.
Â
Sumber: blogs.britannica.com
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H