Masing-masing menempuh pendidikan sesuai dengan strata sosial seperti; Eurospeecsch Lagere School (ELS) untuk orang keturunan belanda, Hollandsch Inlandsche School (HIS), untuk rakyat Indonesia keturunan bangsawan pun tokoh-tokoh terkemuka bangsa, Hollandsch Chineesche School (HCS), untuk orang Tionghoa terkemuka dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebut satu persatu.Â
Secara historis kita dapat merasakan kengerian yang terjadi pada masa itu sebab segala sesuatu dipegang dan ditentukan oleh penguasa. Namun, berangkat dari kengerian itu, para pejuang bangsa dengan gigihnya menoreh kesempatan untuk bersekolah demi meraih pengetahuan dan membasmi kolonialisme di atas bumi pertiwi sehingga tidak ada lagi sekat-sekat yang membentengi ruang gerak bangsa Indonesia.
Para pejuang bangsa telah membuktikan kegigihan mereka dengan membela tanah air tidak hanya dengan keringat dan darah tetapi dengan optimisme pengetahuan yang tidak dapat dikalahkan oleh politik bangsa lain. Sikap ini yang mestinya harus dikembangkan di zaman milenial dengan metode yang tentunya berbeda.Â
Abad 21 pastinya tidak menuntut suatu perjuangan fisik dengan mengeluarkan darah dalam membela bangsa dan negara, melainkan paradigma-paradigma berpikir, berjiwa nasionalis, dan kesatuan yang didasarkan pada pengetahuan dan kerja nyata, itulah  yang dibutuhkan untuk memajukan bangsa dan negara.
Maka untuk sampai pada tahap itu, satu hal yang harus diutamakan adalah mempersiapkan generasi bangsa dengan memaju-kembangkan pendidikan. Sebab pendidikan menjadi dapur utama yang memberikan nutrisi untuk bangsa dan negara. Situasi pandemi, seperti penentu apakah pendidikan dalam suatu negara tetap berjalan atau dihentikan. Hal ini menarik untuk ditelusuri.Â
Sebagaimana diketahui di pelosok negeri, sebut saja Atambua Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan kurangnya sumber pendukung dalam melaksanakan program pembelajran secara online, beberapa Sekolah Dasar dengan pihak-pihak yang terkait di dalamnya, mengambil keputusan dengan cara; para murid menjalalankan pembelajaran dari rumah masing-masing dan dipantau oleh guru.
Para guru dengan andil yang besar menerobos ruang keterbatasan dengan berjalan dari rumah ke rumah para siswa dan siswinya untuk mengajar dan mendidik mereka. Dapat dibayangkan betapa rumit sistem yang diambil oleh pihak sekolah. Tetapi apa daya situasi dan kondisi menuntut untuk harus dijalankan.Â
Kita dapat membayangkan lebih jauh lagi ke arah waktu yang harus ditempuh oleh para guru, bersyukur jika akses jalan dapat ditempuh dengan muda, jika tidak akan memperparah keadaan. Tetapi sejauh ini, belum ada guru yang mengeluh ataupun mempersoalakan  terhadap sistem ini. Mereka mengerti pun memahami situasi dan keadaan yang sedang dihadapi oleh negara.
Hal terpenting bagi mereka adalah asalkan anak-anak bisa tetap bersekolah dengan tenang dan damai, tidak ada sekat-sekat seperti "tempo doeloe", apa lagi harus menyerah dengan keadaan itu bukanlah ciri anak bangsa. Anak bangsa harus berjiwa bebas merdeka dalam mengembangkan diri tanpa dipengaruhi oleh keadaan. Anak bangsa harus berjiwa patriot dengan mental petarung  bukan lagi fisik tetapi pengetahuan demi  memajukan bangsa dan negara ke era yang lebih baik.
Akhir kata" Asalkan kami bersekolah, kami Merdeka"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H