"Ada waktu untuk merobek ada waktu untuk menjahit".  Itulah kata Sang Nabi di waktu dulu kala, di mana tulisan itu berada dalam sebuah Kitab Tua. Dan kata mereka, itu suci. Orang-orang beriman dari penganut zoroaster, sampai pada aliran kepercayaan, masing-masing memiliki kitab itu, entah seperti apa isi dari kitab-lain. Tetapi bagiku itu tidak penting. Kalau hanya kata yang ditulis dalam kitab. Bila tindakan tak sejalan, maka maafkanlah, semua harus ditolak tanpa mengenal kapan dan di mana semua catatan bermula.
"Memang tidak perlu untuk diragukan lagi. Manusia dewasa ini, sering mengacungkan jari pada orang lain, tetapi tak sadar empat jarinya yang lain menusuk kedalam dirinya." "Pintar sekali kau Jef, di manakah kau belajar bahasa tubuh seperti itu! Sekolahpun tidak pernah kudengar kau masuk. Macam mana pula pemikiranmu ini?" "Tak perlu kau tanyakan dari mana asal-muasal pikiranku. Dunia semakin meluas, di dalam negeri ini tidak hanya kau sendiri yang hidup,  Elias. Lihat aku pun hidup bersama kau di sini, bahkan ada orang lain di sana, di situ dan di mana-mana ada orang." "Ya, benar katamu itu. Namun sontaklah pikiranku, bahwa kau cukup pintar dalam hal ini." "Wahai Elias, apa gerangan kau tuturkan 'cukup' untuk diri ini? tidakkah pikiranku membuatmu berpikir? " Oh, sama sekali tidak  Jef, pikiranmu hanya membuatku bertanya, tentang isi kepala seorang manusia tak berpendidikan sepertimu". "Hmm rupanya demikian. Sepertinya aku semakin meragukan latar belakang pendidikanmu. " Tentu kamu tahu bahwa aku sedang berpikir tentang apa yang kamu tahu, namun tidak kamu pahami".Â
Hari semakin larut, entah sudah jam berapa mereka berdua berselisih. Tak ada orang yang menengahi keduanya. Semua bertanya dalam diam dan bahkan ada yang berbisik ke arah manakah pembicaraan ini? Desas-desus orang-orang di sekitar mereka bergumam sendiri tanda mengerti, tetapi habis dalam anggukan kepala yang sederhana tanpa mencampuri perkataan-perkataan mereka. "Wah separah itukah pikiranmu berdua? kata seorang pemuda yang tiba-tiba nongol dari gelapnya malam. Dia seolah-olah telah mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh Jef dan Elias. Dengan beraninya dia tampil di tengah orang-orang yang beruban, kala tak sebanding dengan dirinya dan berkata "semua hanyalah konsep." Maka makin peninglah orang-orang ini, tidak hanya mereka yang ada di sekitar Elias dan Jef, tetapi Eliaspun merasa aneh. "Mana mungkin, hanya konsep? hai pemuda" tidakkah kau mengerti tentang percakapan yang mengandung perdebatan antara si bodoh dan aku?" "AKu sangat mengerti, tentang itu Tuan, kata pemuda itu" Jika demikian, buktikan kepada kami apa yang kau mengerti, jangan sampai kami temukan dua orang bodoh di tengah kami malam ini". "Ah tuan pikirku Tuan telah menggurui apa yang tidak Tuan ketahui." Maksudmu?" "Dapatkah Tuan merangkai kata 'cukup' pada Jef? hematku tidak Tuan. Bahkan Tuan tidak dapat menghadirkan kata 'cukup' pada diri Tuan. Mengapa demikian? Â Karena Tuan, mengandalkan apa yang Tuan lihat dari, latar belakang orang-orang yang lemah. Tetapi Tuan, tidak pernah berpikir bahwa otak manusia melampaui apa yang di lihat oleh mata Tuan."
Perdebatan filosofis kian memanas di antara kelompok Elias dan Pemuda tak bernama ini. Jauh di bawah teras rumah Jef duduk memegang kepalanya, pertanda berpikir ataupun stres dengan apa yang baru saja terucap. Memang, ini perdebatan filosofis antara dua orang berpendidikan dari sudut pandang orang tak berpendidikan. Pemuda mencari pembelaan atas, Jef sedangkan Elias, berupaya memojokan kedua lawannya. Masih tak ada alur pembicaraan yang pasti di antara mereka. Mungkinkah ini akan berakhir dalam diam di malam ini? "agaknya aku mulai memahami pemikiran kedua idiot ini teman-teman." Kata Elias menerangkan maksud pernyataan sih pemuda dan Jef, sambil bangun dari duduknya dan menyapu-nyapu celana Jeansnya. "Dua idiot ini, telah melilit aku dengan bahasa kebodohan mereka, bahwa akulah yang bodoh. Tidakkah demikian"? "Engkau telah mengatakannya". Â Sambar Jef, sekaligus memotong pembicaraan Elias. "Elias? dari awal aku telah berpikir tentang siapa kamu, dari sudut pikiranku yang kau katakan 'cukup', tetapi tidak sadarkah kau, bahwa 'kamu' buat aku hanyalah ide untukku, sedangkan kami untukmu adalah derita. Lihatlah dirimu, ketika kau ucapkan kata itu untukku, kau masih tidak menyadarinya, sama halnya dengan mereka yang ada di beranda kemanusiaan, bersumpah di atas Babel untuk tugas mereka, tetapi apa yang mereka lakukan? Mereka menjajakan pendapat untuk menemukan prioritas diri; ketenaran, pengakuan atas diri mereka, dan pada akhirnya kemiskinan meraja atas penderitaan orang banyak. apakah pikiranmu mengimbangi pikiranku? "Pikiran Tuan tidak mengimbangi pikiran kita, sambung sih anak muda". Tuan Elias, sedang berpikir tentang, jika 'cukup' itu ditujukan kepada manusia yang bodoh, maka dengan sendirinya, kebodohan itu telah melekat dalam diri Tuan Elias".Â
"Apa yang diukurmu kepada orang , akan digunakan juga untuk mengukur dirimu, Tuan. Lihatlah bangsa ini, apa yang akan terjadi bila yang ada hanyalah orang-orang sepertimu, Takkan kita jumpai kedamaian di Bumi pertiwi ini. Kedamaian akan hilang, karena resah hati yang angkuh dan rakus akan terus menghantui. Hukumpun akan dibeli, bak Gayus tambunan, dan jiwa serakah akan bertambah oleh kekuasaan semu dan bengis, seperti kematian zamrud di bumi pertiwi, yang meminta keadilan aparat negara."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!