Bulan Oktober 2021 lalu, Gusti Kanjeng Ratu Hemas menulis artikel di Harian Kompas tentang Dewan Perwakilan Daerah.
Ada beberapa kalimat menarik hati saya dari tulisan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Istri Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta/ Sultan Hamengkubuwono X itu.
".....Maka, penting memikirkan penguatan kewenangan DPD. Revitalisasi institusi demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Itu dilakukan agar sistem politik menjadi penyangga demokrasi sehingga semakin efektif mengelola kepentingan rakyat menuju kesejahteraannya." Demikian kata Bu Ratu dalam tulisannya yang diterbitkan pada hari ulang tahunnya yang ke 69 bulan Oktober 2021 lalu.
Kemudian Bu Ratu yang pernah ikut unjuk rasa soal undang undang pornografi di Denpasar, Bali tahun 2013 itu berujar lagi tentang pentingnnya memperkuat kewenangan DPD itu. "Jika tidak institusi demokrasi hanya menjadi bedak yang menampakkan wajah seolah-olah demokratis, padahal kenyataannya tidak," kata Bu Ratu.
Tertarik pada kalimat-kalimat ini saya bersama dua tokoh kelompok pelobi sosial, politik, ekonomi dan budaya Pelangi Nusantara Network, Sucipto dan Dimas Azisoko Harmoko, datang ke tempat tinggal Sultan Hamengkubuwono X di Menteng, Jakarta, Selasa pagi 23 November 2021.
Saya bertanya soal maka kalimat-kalimat itu, terutama tentang kosa kata "bedak" atau pupur. Beliau banyak menjelaskan hal itu, tapi kemudian melompat ke masalah situasi lingkungan dan rakyat Yogyakarta yang tinggal di lereng Gunung Merapi di wilayah sekitar Sungai Gendol.
Menurut Bu Ratu, di kawasan itu mengalami perusakan lingkungan alam karena kegiatan penampang besar pasir muntahan Gunung Merapi yang sering meletus dan erupsi selama ini.
Bu Ratu mengatakan penyedotan pasir Merapi dengan peralatan modern selama ini telah membuat wilayah itu banyak jurang sedalam 50 sampai 80 meter. "Mereka bisa menyedot per lima menit mencapai beberapa ton yang langsung dimuat dalam truk-truk," ujar Ratu Hemas.
Bukan hanya terjadi perusakan lingkungan, tapi terjadi pula persaingan tidak seimbang antara penyedot pasir bermodal kuat dengan rakyat kecil di wilayah itu yang per hari hanya bisa mengambil pasir beberapa pikul untuk dijual demi mendapatkan penghasilan beberapa rupiah saja. "Ini bisa menimbulkan masalah sosial," katanya.
Ratu Hemas berharap pemerintah pusat perlu mengatur penambang pasir di lereng Merapi ini.
Masyarakat yang telah lama tinggal di bawah Gunung Merapi ini sering menjadi korban letusan gunung yang super aktif ini. Jangan sampai mereka memperoleh tambahan derita karena hanya bisa menyaksikan orang-orang dari tempat yang jauh menikmati pasir itu secara semena-mena.
Ratu Hemas mengatakan akan berjuang untuk menyuarakan adanya "kesewenang-wenangan" berkaitan dengan penyedotan pasir Merapi ini. Suara Bu Ratu memang diperlukan bagi masyarakat kecil sekitar gunung itu.
Bicara soal alam sekitar Gunung Merapi ini saja jadi ingat pada tulisan rekan saya Lucas Sasongko Triyoga berjudul "Merapi dan Orang Jawa, Persepsi dan Kepercayaannya" yang diterbitkan Grasindo , PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta tahun 2010.
Sarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu antaralain mengatakan, "Kebudayaan adalah suatu sistem yang memuat antara lain sistem nilai yang mengatur hubungan timbal balik dengan lingkungan : soial, alam lingkungan, dan adikodrati/supernatural."
Oleh karenanya hal paling penting dalam hubungan penduduk lereng Merapi dengan lingkungannya adalah sarana keseimbangan.
Penduduk lereng Merapi diajar bukan untuk menguasai alam, tetapi bagaimana menyesuaikan dirinya dengan alam yang serba gaib dan menitikberatkan bagaimana menjaga keselarasan atau harmoni dengan Merapi. Pelanggaran terhadapnya ........akan menyebabkan keguncangan kosmos.
Gunung Merapi dipercaya oleh penduduk setempat sebagai keraton makhluk halus, tempat tinggal para roh leluhur. Kepercayaan masyarakat lereng Merapi ini harus kita hormati.Â
Jangan sampai penyedotan pasir di lereng Merapi tanpa kendali ini suatu pelanggaran terhadap kepercayaan masyarakat setempat.Â
Penghormatan terhadap kepercayaan itu menjadi salah satu tolok ukur kita ini kaum berbudaya atau tidak. Jangan sampai kita dituduh sebagai kaum tidak tau adat atau tidak berbudaya.
Bayangkan kita ini akan jadi kaum apa bila lembaga demokrasi hanya sebagai bedak wajah saja dan kepercayaan adikodrati rakyat diinjak oleh penyedot pasir.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H