Mohon tunggu...
Joseph Osdar
Joseph Osdar Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan

Lahir di Magelang. Menjadi wartawan Harian Kompas sejak 1978. Meliput acara kepresidenan di istana dan di luar istana sejak masa Presiden Soeharto, berlanjut ke K.H Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY dan Jokowi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melihat Tempat Ganjar Pranowo Terpeleset Dekat Gunung Wukir (I)

25 Januari 2021   15:32 Diperbarui: 26 Januari 2021   11:17 1606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana sepanjang Jalan Raya Dusun Gopalan, sisi selatan Candi Borobudur, Magelang, Kamis pagi jam 06.00 Wib. Foto oleh J. Osdar

Rabu sampai Jumat (tanggal 20 sampai 22 Desember 2020), saya ikut rombongan mendatangi Gunung Tidar dan Candi Wukir. Keduanya di Magelang, Jawa Tengah.

Tempat-tempat ini diyakini banyak orang sebagai kawasan mistis, termasuk hal-hal untuk mencari petunjuk untuk memperoleh "kekuasaan politik".

Para tokoh dalam rombongan ini tidak mau ditulis identitas mereka. Selain itu sebagian rombongan juga mendatangi tempat pemakaman para raja-raja Mataram Islam di Kota Gede, Yogyakarta, dan Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang (bagian ini akan saya tulis tersendiri).

Sebelum ke Tidar dan Candi Wukir, lima orang anggota rombongan olahraga jalan kaki pagi di jalan raya Dusun Gopal, Borobudur. Wilayah Borobudur ini mengingatkan asal pimpinan saya di suratkabar harian pagi, Kompas, Jakob Oetama (almarhum).

Ketika masih tinggal di Magelang, saya sering ke wilayah ini. Kini, 60 tahun kemudian, suasana bangunan, jalan dan alam sekitar candi sudah berubah. Tapi keramahan penduduk yang saya sapa masih tetap sama seperti dulu. Saya terharu.

Ekonomi sudah gerak
Perjalanan dimulai dari Jakarta ke sebuah hotel di dekat Candi Borobudur. Enam setengah jam perjalanan dengan bus pariwisata dan singgah di sebuah rumah makan sate kambing di Kota Tegal yang ramai. Sepanjang perjalanan di jalan tol, banyak bertemu dan beriringan dengan truk-truk pembawa peti kemas.

"Ini tanda ekonomi kita sudah berjalan laju," ujar anggota rombongan yang tidak mau disebut identitasnya.

Keluar dari wilayah Kabupaten Semarang dan menjelang memasuki Kabupaten Magelang, saya memandang hutan, gunung-gunung, sungai, jurang, bangunan-bangunan di tepi sepanjang jalan sambil mendengarkan suara pengusaha Sucipto dan fortune teller (ahli nujum atau peramal) Acai Feriyanto melantunkan lagu Sewu Kuto (Didi Kempot) dan Musafir (Panbers).

Dalam perjalanan pulang, saya mendengar lantunan lagu seorang pengamen di sebuah rumah makan di kota Semarang, Dodie (35 tahun dan tinggal di Jalan Papandayan, dekat Akademi Kepolisian Semarang), mengatakan ia melantunkan lagu Salam Dari Sana.

"Ini lagu dari Indonesia timur," kata Dodie.

Menurut teknik seni suara, Sucipto, Acai, Dodie dan Alor jauh bagusnya dari suara para penyanyi aslinya. Bahkan lafal atau aksen mereka ini tidak persis dengan para penyanyi aslinya. Mereka juga tidak berusaha menyamakan suara termasuk tekniknya dengan para penyanyi aslinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun