In Memoriam Pak JO
Pagi, Oktober 1990, saya sedang tugas jurnalistik di Malaysia. Pesawat telepon di kamar hotel saya berdering.
"Ciek Osdar ada talipon dari Jakarta," kata resepsionis lewat telepon kepada saya.
Kemudian muncul suara bariton, Mas Swantoro, wakil pemimpin redaksi Harian Kompas.
"You bisa balik Jakarta sekarang? Ini penting. You dipanggil Pak Jakob," kata Mas Swan waktu itu yang langsung menutup pembicaraan singkat.
Lewat bantuan wartawan setempat, saya bisa mendapat penerbangan ke Jakarta pagi itu. Dua jam penerbangan, saya sampai di bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten. Dari bandara saya telepon Mbak Etty Sri Marianingsih, sekretaris Pemimpin Redaksi Kompas Jakob Oetama merangkap sekretaris Mas Swantoro, wakil Pemimpin Redaksi Kompas.
"Saya tidak tahu kalau Pak Jakob dan Mas Swan memanggil Mas Osdar. Nanti langsung saja ke ruang Pak Jakob. Mas August Parengkuan juga mau datang ke tempat Pak Jakob," ujar Etty waktu itu.
Sampai di kantor redaksi Kompas, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, saya langsung ke kamar Pak Jakob yang ada di bangunan sementara yang sering disebut "bedeng". Waktu itu masih berlangsung pembangunan gedung baru Kompas.
Etty mengatakan Pak Jakob masih ada tamu. Jadi saya menuju ke ruang Mas Swan di lantai satu setengah di gedung baru yang belum selesai dibangun.
Baru saja saya duduk di ruangnya, telepon di ruang itu berdering dan diangkat Mas Swan. "Orangnya sudah ada di sini," kata Mas Swan menjawab telepon Pak Jakob saat itu.
"Bung Osdar, you dari istana ya?," tanya Pak Jakob ketika masuk ke ruang Mas Swan.
"Tidak, dia dari Malaysia," jawab Mas Swan kepada Pak Jakob. Bukan saya yang menjawab.
Saya mengatakan, berangkat dari Kuala Lumpur, tadi pagi. “Wah, boleh you, bisa cepat sampai di sini," kata Pak Jakob berkomentar.
Selanjutnya, kami bertiga terlibat dalam pembicaraan serius mengenai masalah kasus majalah Monitor yang dipimpin Arswendo Atmowiloto kala itu.
Saya lebih banyak diam dan mendengar. Saat itu saya baru tahu saya dipanggil karena ada masalah majalah itu. Saat itu saya tidak tahu sama sekali masalah yang dibahas Pak Jakob dan Mas Swan.
Beberapa menit kemudian salah satu pimpinan Redaksi Kompas, Augus Parengkuan masuk, langsung duduk dan menangis tersedu-sendan. Pak Jakob dan Mas Swan diam.
Saya tidak tahu mau bicara apa dan mau berbuat apa. Saya ikut diam. Di tengah kebisuan itu, tiba-tiba Pak Jakob memandang saya seraya bicara, "Bung tahu nggak, dulu ada seorang pastor dari Eropa bilang sesuatu kepada saya." Lalu, Pak Jakob diam. Mas August dan Mas Swan juga diam.
Saya sudah tahu apa yang hendak dikatakan Pak Jakob saat itu, karena hal itu sebelumnya sudah sering diucapkan kepada saya dan teman-teman lain di Kompas dan Gramedia.
"Pastor Oudejans, bilang, 'Jakob sudah banyak guru di antara kita, mana wartawan, belum banyak',” kata Pak Jakob menirukan ucapan Pastor itu yang menggunakan aksen Eropa bila mengucapkan kata-kata Indonesia.
Saya sambut ucapan Pak Jakob itu dengan ketawa yang saya sedikit paksakan untuk sampai tertawa terbahak-bahak. Saya ulangi kalimat itu dengan aksen yag jenaka.
"Untung Pak Jakob kemudian memilih jadi wartawan, kalau tidak saya tidak bisa di sini saat ini," ujar saya sambil tertawa dan disambut ketawa Pak Jakob, Mas Swan, dan Mas August.
Kemudian saya mendapat tugas tertentu dari ketiga tokoh dan pemimpin Kompas itu. Saya senang karena tidak harus tiap hari ke istana dan acara kepresidenan yang sangat rutin.
O, iya, hampir lupa. Ketika itu Mas Swan juga melanjutkan cerita tentang keraguannya bahwa koran Kompas akan berkembang seperti saat itu.
"Waktu itu, tatkala saya mulai ikut Pak Jakob di Jakarta, saya sempat minta pulang ke Yogya dulu. Pak Jakob bilang, silakan, nanti kalau Kompas sudah maju, saya panggil lagi, ya.
Saya jawab, Kompas akan berkembang, kalau sudah ada beling (pecahan kaca) bosok (busuk), kaca busuk," kata Mas Swan berkisah di awal munculnya harian Kompas.
Sebelum saya meninggalkan ruang itu, saya ulangi lagi kata beling bosok. Pak Jakob tertawa sambil mengulangi dua kata itu.
Beberapa tahun kemudian, suatu hari, setelah ada handphone, Etty, Mas Swan, dan Mas August berturut-turut kontak saya. Ketika itu saya dalam perjalanan dari istana kepresidenan di Jakarta menuju ke kantor Kompas.
"Tuh, you, dipanggil Pak Jakob," kata Mas Swan. "Osdar, ngana dapapangge dari tonaas," kata Mas August Parengkuan dalam bahasa dan logat Minahasa. "Mas Osdar, dipanggil Pak Jakob, kelihatannya ada masalah, beliau kelihatan marah, setelah tadi ada rapat," kata Etty.
Setibanya di lantai enam gedung Kompas, dengan hati berdebar saya masuk.
"Bung Osdar, guru sudah banyak mana wartawan?," begitu ucap Pak Jakob ketika saya membuka pintu dan masuk ke ruang beliau. Pak Jakob tertawa. "Ya, supaya Bung Osdar tertawa," lanjut Pak Jakob.
Saya pun celetuk lagi, "Waduh beling bosok". Beliau ketawa lagi.
Baru kemudian bercerita tentang rapat soal televisi Kompas. Dalam situasi apa pun, seserius apa pun, setegang apa pun, bila secara spontan mengatakan, "Guru sudah banyak, mana wartawan," beliau tertawa dan mengulangi cerita tentang munculnya kalimat itu.
Kadang-kadang, ketika Pak Jakob membeberkan masalah, kemudian saya potong dengan ucapan, "Guru sudah banyak...", beliau menghentikan pembeberan masalah itu sambil tertawa bercerita ulang tentang hal itu.
Beliau sering mengatakan, dengan mengucapkan kalimat itu, supaya saya tertawa. Tapi saya tidak tahu, siapakah yang terhibur dengan kalimat itu, “Guru sudah banyak...", saya atau Pak Jakob? Tapi itulah kenangan yang tidak saya lupakan.
Catatan lain tentang almarhum adalah, setelah tahun 2010, tiap Selasa beliau memanggil saya ke ruang kerjanya. Sejak tahun itu tiap hari Selasa tulisan saya muncul di kolom "Sisi Lain Istana".
"Saya sudah baca tulisan Bung hari ini," ujarnya selalu.
Kemudian kami masuk dalam pembahasan serius. Kumpulan tulisan itu diterbitkan dalam tiga buku, "Sisi Lain Istana jilid I, II dan III”. Dua buku terakhir, beliau yang memberi kata pengantar. Sebagian dari pengantar buku itu beliau tulis dengan tangan, tidak diketik.
Suatu pagi, hari Selasa di tahun 2013, beliau memanggil saya ke ruang kerjanya. Beliau tertarik tulisan saya tentang Komandan Paspampres (Pasukan Pengaman Presiden), Mayjen TNI (waktu itu) Doni Monardo dan pohon trembesi.
Banyak hal yang kami bincangkan tentang hal itu. Tapi, kemudian beliau memberi saran agar saya membaca tulisan beliau tentang perjalanan bersama Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Penertiban (Pangkokamtip) dan Wakil Panglima ABRI (1971-1974) Jenderal TNI Soemitro ke Pulau Buru, Oktober 1973.
"Saya sudah membacanya sejak saya masih sekolah di Pineleng, Minahasa, Sulawesi Utara," jawab saya. "Lima tulisan dan judulnya empat tulisan adalah Terang Bulan di Pulau Buru," lanjut saya yang disambut tawa lebar beliau.
Senin, 14 September 2020, kemarin saya kontak kepada Kepala Pusat Informasi Kompas (PIK), Shinta Ratnawati dan karyawan PIK lainnya, Inggra Parandaru. Saya minta tolong kepada mereka untuk mengirimkan lima artikel perjalanan
jurnalistik almarhum tersebut.
"Saya jadi ikutan baca nih...kayak apa feature yang jadi panutan Mas Osdar. Ternyata lebih usil tulisan muridnya (Osdar)," kata Shinta kepada saya.
Kepada Shinta saya minta tolong dikirimkan kepada saya bagian kecil kalimat beliau dalam artikel pertama. Bunyinya begini, "......DM Sunardi dari Berita Yudha dan Sujoko dari The New Standard, ternyata sekawan yang terus menerus membangkitkan gairah rombongan wartawan dengan bermacam humor 'lelaki'."
Inggra Parandaru ketika saya minta, punya kesan tersendiri.
"Kesan pertama saya baca, kaya novel ya Mas. Deskripsinya cukup detail untuk ukuran koran sekarang. Gaya bahasanya berbeda sekali dengan tulisan-tulisan Kompas yang saya baca sekarang.
Baca tulisan Pak JO tahun 1973, seperti membaca karya sastra," kata Inggra Parandaru, karyawan muda Kompas itu.
Demikian memoriam kecil dari almarhum untuk saya pribadi.
(Taman Cipulir Estate yang sedang banjir, 14 September 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H