Hari Minggu, 16 Agustus 2020 lalu, Sineas senior Garin Nugroho dan istri, Ny Riani Ikaswati menikahkan puteranya, Gibran Tragari dengan putri pilihannya, Feby Hendola Kaluara.
Acara sederhana yang dihadiri beberapa handai taulan dan anggota keluarga berlangsung di kediaman orang tua mempelai putri, Hengkie Kaluara dan Ny Dona Krisanti, di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan.
Hadirin yang nampak antara lain mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letnan Jenderal (Purnawirawan) TNI Agus Widjojo, mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, Staf Khusus Presiden, Sukardi Rinakit bersama stafnya, Mariza Hamid, suami-istri pendiri Teater Koma Nano Riantiarno dan Ratna Riantiarno, Aktor Mathias Muchus dan Mira Lesmana, bintang film Christin Hakim, aktris teater Asmara Abigail dan seterusnya.
Sambil menikmati menu empal gentong, saya dan Garin "mojok" sambil membahas iklan Pemilihan Umum tahun 1997. Iklan itu cukup terkenal, "Inga, Inga......Ting". Itu diucapkan oleh seorang ibu di Manado sambil memincingkan ekor matanya dengan gaya yang kaku.
Iklan ini dibuat di pantai luar kota Manado, Sulawesi Utara, pertengahan 1997. Kemudian kami membahas sebuah iklan obat kuat untuk kaum lelaki yang muncul setelah Pemilu 1997 yang juga cukup terkenal. Iklan itu memunculkan tokoh pahwalan dunia perwayangan Gatot Kaca. Tiba-tiba tokoh ini nampak "lemah" dan seorang punakawan yang menyertai Gatot Kaca nyeletuk spontan "Lho koq loyo ?".
Saya dan Garin sepakat iklan ini cukup bagus tapi bisa membuat orang yang mau beli agak khawatir akan dilihat orang lain. "Bisa saja sang pembeli bisa tidak jadi beli karena ketahuan dirinya loyo," kata Garin. "Iklan ini menarik, tapi bisa menggagalkan misi utamanya," lanjut Garin.
Senada dengan iklan "lho koq loyo" adalah lagu "Balada Pelaut" yang dipopulerkan oleh penyanyi almarhumah Connie Maria Mamahit dan Tantowi Yahya. Syair lagu ini kalau tidak ditangkap dengan seksama, bisa dianggap menyiarkan tentang stigma para pelaut itu mata keranjang. Padahal sebetulnya isi syair ini untuk mengatakan pelaut itu bukan mata keranjang, tapi justru sering ditinggal sang kekasih.
Tapi banyak orang menangkap sebaliknya tentang maksud syair lagu Balada Pelaut yang pertama kali di awal 1990-an dilantunkan oleh penyanyi asal Minahasa, Sulawesi Utara, Connie Maria Mamahit (almarhumah) itu.
Komisaris dan "padu"
Obrolan saya dan Garin di sela-sela acara nikah Gibran dan Feby itu, meloncat ke pembahasan penampilan orang-orang "beradu mulut" atau "padu" (bahasa Jawa yang artinya sama dengan adu mulut yang melibatkan kaum perempuan) terutama di layar televisi.
Dalam tragedi "padu" para pelakunya di tingkat emosi tertentu sampai mengeluarkan atau menyemburkan ludah (busa-busa ludah mereka sampai muncrat). Para pelaku "padu", biasanya saling mengeluarkan suara keras, cepat, memelototkan mata dan spontan memuncratkan buih ludah.
Salah satu contoh tragedi "padu" itu yang kami bahas adalah ketika pihak-pihak tertentu adu mulut soal pembagian jabatan komisaris di berbagai perusahaan milik pemerintah atau negara. Pihak-pihak yang terlibat dalam adu mulut atau "padu" di layar televisi terjadi di antara sesama pendukung pemerintah saat ini.
Mereka adalah para relawan dalam pemilihan presiden 2019 lalu. Satu pihak menginginkan penentuan atau penunjukan komisaris dilakukan terbuka karena menyangkut anggaran atau uang yang cukup besar, sampai triliunan rupiah. Pihak penentangnya mengatakan "tidak ada budaya semacam itu" di dalam korporasi atau perusahaan milik negara, atau dengan kata lain perlu "tertutup" (dalam tanda kutip).
Adu mulut atau "padu" itu juga meloncat ke masalah penangan para korban pandemi virus corona atau covid-19 di Indonesia. Satu pihak mengatakan penanganan masalah covid-19 ini masih "loyo", pihak lainnya menentang pendapat itu.
"Mana, mana, tunjukan pada saya ada korban penderita covid 19 yang diterlantarkan. Tunjukan kepada saya pemerintahan ini agresiv dalam menangani masalah ini," kata satu pihak dengan mata melotot, suara keras dan cepat serta kedua tangan terangkat ke atas sambil menyemprotkan buih-buih ludah. Inilah gaya "padu" atau adu mulut yang banyak ditayangkan televisi di Indonesia.
Gaya dan semangat membela pemerintah dalam soal pembagian jabatan komisaris dan masalah penanganan "covid-19" ini cukup menarik untuk disimak. Menarik, karena bisa dianalogkan dengan iklan obat kuat yang menampilkan "cepot" atau "udel". Keinginkan para juru adu mulut atau juru "padu" ini, ingin memperlihatkan keperkasaan pemerintah. Tapi apa daya, justru hasilnya bisa sebaliknya, memperlihatkan citra "lho koq loyo?".
Gaya para juru "padu" ini bisa jadi menampilkan rejim yang mereka bela senasib dengan "para pelaut" yang dikumandangkan lagu "Balada Pelaut".
Tarian badut
Kebetulan masalah ini juga saya obrolkan dengan mantan jurubicara presiden di masa pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Adhie Massardi. Adhie berkomentar dengan mengirimkan sebuah puisi "Tentang tarian para badut". Bunyinya begini:
"Aku melihat badut-badut sirkus kekuasaan itu menari--nari, jumpalitan, berusaha menarik hati publik yang sesungguhnya ingin segera melihat Pawang Harimau" menaklukan si raja hutan itu, sementara pemilik sirkus kekuasaan sedang cemas karena jumlah penonton terus menyusut , sementara biaya harian operasional sirkus terus membengkak."
Begitu bunyi puisi Adhie Massardi yang tinggal di Bekasi. Dan inilah "dongeng" di pojok acara nikah Gibran dan Feby.
(J.Osdar, Tangerang, 6 September 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H