Salah satu contoh tragedi "padu" itu yang kami bahas adalah ketika pihak-pihak tertentu adu mulut soal pembagian jabatan komisaris di berbagai perusahaan milik pemerintah atau negara. Pihak-pihak yang terlibat dalam adu mulut atau "padu" di layar televisi terjadi di antara sesama pendukung pemerintah saat ini.
Mereka adalah para relawan dalam pemilihan presiden 2019 lalu. Satu pihak menginginkan penentuan atau penunjukan komisaris dilakukan terbuka karena menyangkut anggaran atau uang yang cukup besar, sampai triliunan rupiah. Pihak penentangnya mengatakan "tidak ada budaya semacam itu" di dalam korporasi atau perusahaan milik negara, atau dengan kata lain perlu "tertutup" (dalam tanda kutip).
Adu mulut atau "padu" itu juga meloncat ke masalah penangan para korban pandemi virus corona atau covid-19 di Indonesia. Satu pihak mengatakan penanganan masalah covid-19 ini masih "loyo", pihak lainnya menentang pendapat itu.
"Mana, mana, tunjukan pada saya ada korban penderita covid 19 yang diterlantarkan. Tunjukan kepada saya pemerintahan ini agresiv dalam menangani masalah ini," kata satu pihak dengan mata melotot, suara keras dan cepat serta kedua tangan terangkat ke atas sambil menyemprotkan buih-buih ludah. Inilah gaya "padu" atau adu mulut yang banyak ditayangkan televisi di Indonesia.
Gaya dan semangat membela pemerintah dalam soal pembagian jabatan komisaris dan masalah penanganan "covid-19" ini cukup menarik untuk disimak. Menarik, karena bisa dianalogkan dengan iklan obat kuat yang menampilkan "cepot" atau "udel". Keinginkan para juru adu mulut atau juru "padu" ini, ingin memperlihatkan keperkasaan pemerintah. Tapi apa daya, justru hasilnya bisa sebaliknya, memperlihatkan citra "lho koq loyo?".
Gaya para juru "padu" ini bisa jadi menampilkan rejim yang mereka bela senasib dengan "para pelaut" yang dikumandangkan lagu "Balada Pelaut".
Tarian badut
Kebetulan masalah ini juga saya obrolkan dengan mantan jurubicara presiden di masa pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Adhie Massardi. Adhie berkomentar dengan mengirimkan sebuah puisi "Tentang tarian para badut". Bunyinya begini:
"Aku melihat badut-badut sirkus kekuasaan itu menari--nari, jumpalitan, berusaha menarik hati publik yang sesungguhnya ingin segera melihat Pawang Harimau" menaklukan si raja hutan itu, sementara pemilik sirkus kekuasaan sedang cemas karena jumlah penonton terus menyusut , sementara biaya harian operasional sirkus terus membengkak."
Begitu bunyi puisi Adhie Massardi yang tinggal di Bekasi. Dan inilah "dongeng" di pojok acara nikah Gibran dan Feby.
(J.Osdar, Tangerang, 6 September 2020).